Kamis, 04 Juni 2015

Hukum menikahi wanita hamil



Perkawinan disebut juga pernikahan, berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi)[1]. Kata nikah sendiri sering di pergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah[2]. Sedangkan perkawinan menurut hukum syara yaitu akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafadz nikah atau dengan kata-kata yang semakna denganya. Dalam kaitan ini, Abu Ishrah meberikan definisi yang lebih luas, yaitu “akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong-menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing”. Sedangkan dalam komplikasi hukum islam, pengertian perkawinan dinyatakan dalam pasal 2 yang berbunyi : “Perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakanya merupakan ibadah”[3].

Konsekuensi Hukum Mengenai Kawin Hamil
Yang dimaksud dengan “Kawin Hamil” disini ialah kawin dengan seorang wanita yang hamil di luar nikah, baik di kawini oleh laki-laki yang menghamilinya, maupun oleh laki-laki bukan yang menghamilinya.
Hukum menikahi wanita yang hamil di luar nikah, para ulama berbeda pendapat, sebagai berikut :
1.      Ulama madzab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali) berpendapat bahwa perkawinan keduanya sah dan boleh bercampur sebagai suami istri, dengan ketentuan, bila si pria itu yang menghamilinya dan baru kemudian ia mengawininya. Madzhab Syafi'i berpendapat bahwa zina itu tidak menetapkan haramnya mushaharah (menjalin hubungan pernikahan) sehingga dibolehkan bagi seorang yang berbuat zina menikahi wanita yang dizinainya.

2.      Ibnu Hazm (Zhahiriyah) berpendapat bahwa keduanya boleh/SAh di kawinkan dan boleh pula bercampur, dengan ketentuan bila telah bertaubat dan menjalani hukuman dera (cambuk), karena keduanya telah berzina. Pendapat ini berdasarkan hukum yang pernah di tetapkan oleh sahabat Nabi, yaitu : ketika seorang laki-laki tua menyatakan keberatanya kepada Khalifah Abu Bakar dan berkata :”Ya Amirul Mukminin, Putriku telah di campuri oleh tamuku, dan aku ingin agar kedunya di kwainkan:. Ketika itu, khalifah memerintahkan kepada sahabat lain untuk melakukan hukuman dera (cambuk), kemudian baru mengawinkanya.
Mengenai hal ini telah terdapat banyak hadits yang semuanya mempunyai kekuatan dalil tersendiri. Misalnya adalah hadits yang diriwayatkandari Abu Hurairah ra, iabercerita, Rasulullah SAW bersabda :
اَلزَّانِي الْمَجْلُوْدُ لَا يَنْكِحُ إِلَّا مِثْلَهُ . (رواه احمد و أبو داود) .
"Seorang pezina yang telah dicambuk tidak boleh menikah kecuali dengan wanita yang semisalnya (pezina juga)." (HR. Ahmad dan Abu Dawud).[4]

Perempuan yang hamil lantaran perzinaan boleh dikawin oleh lelaki yang berzina dengannya atau oleh lelaki lain, sebab kehamilannya itu dianggap tidak sah.[5]
Dari Abdullah bin Amr, ada seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk menikahi seorang wanita yang bernama Ummu Mahzul. di mana wanita itu pernah berbuat zina, dan ia (wanita itu) memberikan syarat kepadanya bahwa ia akan memberikan nafkah kepadanya. Lalu laki-laki itu meminta izin atau menyampaikan masalah wanita itu kepada Rasulullah SAW. Maka beliau membacakan kepadanya ayat :
وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَآ إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ ۝۳ (النّور : ٣)
''Dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik.”[6]
Hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad dan Imam Thabrani.Dalam kitab Majma' az-Zawaid, al-Haits mengemukakan, rijal Ahmad adalah tsiqah.
Dari Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Murtsid bin Abi Murtsid al-Ghanawi pernah membawa beberapa tawanan dari Mekah, lalu di Mekah terdapat seorang pelacur yang bernama Anaq, yang dahulunya ia adalah teman baginya. Ia berkata, kemudian aku mendatangi Nabi Shallalalhu Ahihi wa Sallam dan kutanyakan kepadanya, "Ya Rasulullah, apakah aku boleh menikah dengan Anaq ?" Maka beliau tidak memberikan jawaban kepadaku. Lalu turunlah ayat :

"Dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik." (an-Nuur: 3).
Kemudian beliau memanggilku kembali dan membacakan ayat itu kepadaku seraya berkata, "Janganlah engkau menikahinya." (HR. Abu Dawud, Nasa'i dan Tirmidzi. Imam Tirmidzi menghasankan hadits ini). Di mungkinkan pula penyatuan hadits-hadits tersebut sebagai dalil yang menunjuk kan bahwa larangan tersebut ditujukan bagi wanita yang terus menerus melakukan perzinaan. Hal itu sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits:   
dari Ibnu Abbas, ia bercerita, ada seorang laki-laki yang datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan mengatakan, "Sesungguhnya isteriku tidak melarang tangan orang yang menyentuhnya." Maka beliau bersabda, "Ceraikanlah ia."Lalu orang itu berkata, "Aku takut diriku akan mengikutinya."Kemudian beliau bersabda, "Bersenang-senanglah dengannya." (HR. Abu DawuddanNasa'i).[7]
Berkenaan dengan hal tersebut, beliau katakan, bahwa Abu Ubaidah mengemukakan. ''Yang demikian itu termasuk perbuatan keji dan Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam sendiri tidak menyuruhnya untuk mempertahankan isterinya itu jika ia berzina."
Menurut riwayat Baihaqi, dari Jabir, yang sama seperti hadits Ibnu Abbas. Dalam beberapa dalil yang dikemukakan tidak mengandung pengertian bahwa wanita dilarang menikah dengan laki-laki yang diketahui berbuat zina, tetapi laki-laki dilarang menikahi wanita yang diketahui bahwa ia pernah berzina. Hal itu berdasarkan firman Allah Azzawa Zalla :
"Dan yang demikian itu diharamkan atas laki-laki yang beriman." (an-Nuur :3).
Ibnu Rusyd mengemukakan, para ulama masih berbeda pendapat mengenai firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, "Dan yang demikian itu diharamkan atas laki-laki yang beriman." Apakah hal itu hanya sebatas celaan atau sampai kepada pengharaman. Dan apakah isyarat yang terdapat dalam firman-Nya itu mengarah kepada zina atau pernikahan. Lebih lanjut, Ibnu Rusyd mengatakan, jumhur ulama mengartikan ayat ini sebagai celaan dan bukan pengharaman. Hal itu didasarkan pada hadits Ibnu Abbas yang telah dikemukakan di atas.[8]
Ar-Rawayani menceritakan, dari Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Jabir, Sa'id bin Musayyab, Urwah, az-Zuhri, al-Atrah,Malik, Syafi'i dan Abu Tsaur, bahwa wanita itu tidak haram untuk dinikahi oleh laki-laki yang berbuat zina dengannya.
Dalilnya adalah firman Allah di dalam QS. An-Nisa: 24, yang setelah menjelaskan siapa-siapa saja yang tidak boleh dikawini, akhirnya dilanjutkan dengan firman-Nya :[9]

"Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu."(an-Nisa': 24).[10]
Di dalam kitab al-Bayan dikatakan, "Jika seorang laki-laki berzina dengan seorang wanita, maka dengan sebab perzinaan itu tidak diharamkan baginya menikahi wanita tersebut, demikian juga dengan ibu dan anak perempuannya. Dan bagi wanita yang berzina tidak diharamkan untuk menikah dengan ayah laki-laki yang menzinainya juga dengan anak laki-lakinya (pezina laki-laki). Demikian juga jika ia mencium dan memegang wanita tersebut yang disertai dengan syahwat atau melihat kemaluannya yang disertai dengan syahwat[11]."

Dengandemikian, Allah Azzawa Zallamensejajarkanmushaharah(hubungankarenapernikahan) denganhubungannasab. Dan ketikahubungannasabitutidakditetapkanmelaluiperzinaan, makamushaharahpun demikian.
Hal ini juga didasarkan pada hadits Aisyah Radhiyallahu Anha dan Ibnu Umar sebagai hadits marfu' yang diriwayatkan Imam Baihaqi dan IbnuMajah,
"Suatuhal yang haram tidakdapatmengharamkan yang halal."(HR. Baihaqi dan Ibnu Majah).
Dan akad nikah sebelum perzinaan itu merupakan suatu hal yang halal.
Diriwayatkan pula bahwa Umar bin Khathab Radhiyallahu Anhu pemah mencambuk seorang laki-laki dan seorang wanita dan menganjurkan agar kedua orang itu disatukan dalam pernikahan.
Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu pemah ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang wanita, lalu laki-laki itu bermaksud menikahi wanita tersebut. Dia menjawab pertanyaan itu. dengan mengatakan, "Boleh saja. Bagaimana menurut pendapatmu. jika ada seorang laki-laki mencuri korma seseorang lalu menjualnya, apakah hal itu dibolehkan?"
Perempuan yang hamil lantaran perzinaan atau perempuan yang dizinai itu tidak termasuk dalam kategori perempuan-perempuan yang haram dikawini. Artinya perempuan ini termasuk kedalam kategori “yang lain daripada itu”.[12]
Jika seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan, lalu setelah enam bulan perempuan itu membawa seorang anak yang mungkin hasil dari perzinaan tersebut, maka tidak terdapat perbedaan di antara para ulama bahwa tidak ada hubungan nasab antara anak tersebut dengan laki-laki itu dan antara keduanya pun tidak saling mewarisi. Sedangkan mengenai pernikahan laki-laki tersebut dengan wanita itu, maka Imam Syafi'i telah mengemukakan, "Saya memakruhkannya menikahi wanita tersebut, tetapi jika ia tetap menikahinya, maka saya tidak menganggap batal pernikahan mereka."[13]
Para penganutmadzhab Syafi'iberbedapendapat mengenai illah (alasan) Imam Syafi'i memakruhkan laki-laki yang berzina menikahi anak perempuan tersebut. Ada yang mengatakan, bahwaSyafi'imemakruhkanhalituuntukkeluardariperbedaanpendapat.Karena, adasebagian orang yang tidakmembolehkanlaki-lakiitumenikahinya.
Sedangkan Abu Hanifahdan Imam Ahmad mengatakan, "Tidakdibolehkanbaginyamenikahiwanitatersebut."Laluparapengikut Abu Hanifahberbedapendapatmengenaialasandiharamkannyapernikahan tersebut. Golongan pertama mengatakan, "Diharamkannya laki-laki itu menikahi wanita tersebut karena ia adalah anak perempuan dari wanita yang dulu ia pernah berzina dengannya dan bukan karena ia anak sebagai hasil zina. Dan menurutnya, karena perzinaan itu, maka ditetapkanlah pengharaman mushaharah, sebagaimana yang telah diuraikan. sehingga ia tidak haram untuk dinikahi oleh ayah dan anak laki-laki dari laki-laki' tersebut."
Sedangkan orang-orang terakhir dari penganut madzhab ini mengemukakan, "Diharamkan menikahi anak perempuan itu karena ia diciptakan dari air maninya. Berdasarkanhaltersebutia haram dinikahioleh ayah dananaklaki-lakidarilaki-laki yang berzinaitu."Dan inilahpendapat yang paling shahihmenurutpendapatmereka.
Dalil pendapat pertama adalah bahwa anak perempuan itu terputus hubungan nasab dengannya dengan dalil bahwa di antara keduanya tidak saling mewarisi sehingga tidak diharamkan baginya menikahi anak wanita itu, sebagaimana halnya wanita ajnabiyah.
Dan jika ada seorang laki-laki memaksa seorang wanita untuk berzina, lalu selang beberapa waktu wanita itu datang dengan membawa anak yang lahir karena laki-laki tersebut, maka hukum yang berlaku pada laki-laki itu adalah hukum yang berlaku jika wanita itu yang mengajaknya berzina[14].
Hukum Tentang Sah atau Tidaknya Seorang Anak Hasil Perzinaan
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (pasal 42). Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya (pasal 43 ayat 1).[15] Kedudukan anak tersebut selanjutnya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah (pasal 43 ayat 2).
Di dalam Undang-Undang Dasar RI pasal 53 terdapat aturan tentang kawin hamil, sebagai berikut :[16]
1.      Seorangwanitahamil di luarnikah, dapatdikawinkandenganpria yang menghamilinya.
2.      Perkawinandenganwanitahamil yang disebutpadaayat (1) dapatdilang­sungkantanpamenunggulebihdahulukelahirananaknya.
3.      Dengandilangsungkannyaperkawinanpadasaatwanitahamil, tidakdiperlukan perkawinanulangsetelahanak yang dikandunglahir.

Dengan demikian, dalam kaitanya dalam hal ini, status anak itu adalah sebagai anak zina. Apabila pria yang mengawini ibunya itu bukan pria yang menghamilinya[17]. Namun bila pria yang menghamili ibunya itu, pria yang menghamilinya, maka terjadi perbedaan pendapat :
·         Bayi itu termasuk anak zina, bila ibunya dikawini setelah usia kandunganya berumur 4 bulan keatas. Bila kurang dari 4 bulan, maka bayi tersebut adalah anak suaminya yang sah.
·         Bayi itu termasuk anak zina, karena anak itu adalah anak diluar nikah, walalupun di lihat dari segi bahasa, bahwa anak itu adalah anaknya, karena hasil dari sperma dan ovum bapak dari ibunya itu.
Dalam kompilasi hukum islam, masalah kawin hamil di jelaskan pasal 53 sebagai berikut :
1)      Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat di kawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2)      Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu terlebih dahulu kelahiran anaknya.
3)      Dengan di langsungkanya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak di perlukan perkawina ulang setelah anak yang dikandungnya lahir.
Terjadinya wanita hamil di luar nikah, (yang hal ini sangat di larang oleh agama, norma, etika dan perundangan-undangan Negara), selain karena adanya pergaulan bebas, juga karena lemahnya iman pada masing-masing pihak. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi perbuatan yang keji itu, pendidikan agama yang mendalam dan kesadaran hukum semakin diperluakan[18].



[1] Al-Syarif Ali bin Muhammad Al-Jurjaniy, Kitab Al-Ta’rifat, (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1988), cet.ke-3, hlm.246.
[2] Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, (Beirut : Dar al Fikr, 1989), hlm.29.
[3] Abdul Rahman Ghozali, FIQH Munakahat, (Jakarta : Kencana, 2003),cet.ke-3, hlm.9-10.
[4] Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), hlm. 128.
[5]Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh Jilid 2, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 108
[6] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005), hlm. 279


[7]Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), hlm. 129
[8]Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), hlm. 130
[9]Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh Jilid 2, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 108
[10]Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005), hlm. 65
[11] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005), hlm. 291

[12]Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh Jilid 2, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 108
[13]Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), hlm. 132-133
[14] Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), hlm. 134

[15]Bahder Johan Nasution, Sri Warjiyati, Hukum Perdata Islam, (Bandung: Mandar Maju, 1997), hlm. 40
[16]Achmad Kuzari, Nikah sebagai Perikatan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 192
[17] Abdul Rahman Ghozali, FIQH Munakahat, (Jakarta : Kencana, 2003), hlm.126.
[18] Abdul Rahman Ghozali, FIQH Munakahat, (Jakarta : Kencana, 2003), hlm. 124-128.

2 komentar:

  1. ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬
    Ternyata ada aturan seperti ini ya.
    ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬

    BalasHapus
  2. ya begitu adanya mas, berdasarkan referensi yang sy dapat

    BalasHapus