Kamis, 11 Juni 2015

makalah Syiah



PENDAHULUAN
 adalah madzhab yang pertama lahir dalam Islam. Madzhab Syiah memiliki visi politiknya sendiri, sebagian dekat dan sebagian lain jauh dari agama. Madzhab ini tampil pada  akhir masa pemerintahan Utsman, kemudian tumbuh dan berkembang pada masa Ali. Setiap kali Ali berhubungan dengan masyarakat, mereka semakin mengagumi bakat-bakat, kekuatan beragama, dan ilmunya. Karena itu para propagandis Syiah mengeksploitasi kekaguman mereka terhadap Ali untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka tentang dirinya.
Di antara pemikiran itu ada yang menyimpang, dan ada pula yang lurus. Ketika keturunan Ali yang sekaligus keturunan Rasulullah mendapat perlakuan zalim yang semakin hebat dan banyak mengalami penyiksaan pada masa bani Umayyah, rasa cinta mereka terhadap keturunan Ali semakin mendalam. Mereka memandang Ahlulbait ini sebagai Syuhada dan korban kedzaliman. Dengan demikian, semakin meluaslah daerah madzhab Syiah dan pendukungnya semakin banyak. Golongan Syiah beranggapan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan anak keturunannya lebih berhak menjadi khalifahdaripada orang lain, berdasarkan wasiat Nabi. Masalah khalifah ini adalah soal politik yang dalam perkembangan selanjutnya mewarnai pandangan mereka di bidang agama.



Sejarah Syi’ah
Syi’ah dalam bahasa Arab berarti pengikut. Arti “Kaum Syi’ah” menurut istilah yang dipakai dalam lingkungan ummat Islam ialah kaum yang beri’itiqad bahwa Saidina Ali Kw. Adalah orang yang berhak menjadi Khalifah pengganti Nabi, karena Nabi berwasiat bahwa pengganti beliau sesudah wafat adalah Saidina Ali[1].
1.      Keterangan Yang Keliru
Ada beberapa kaum Orientalist yang menerangkan bahwa paham Syi’ah itu ialah paham yang mencintai Saidina ‘Ali atau orang-orang yang mencintai ahli bait Rasulullaah.
Keterangan ini keliru, karena kaum Ahlussunnah dan bahkan seluruh ummat Islam mencintai Ahli Bait, khususnya Saidina ‘Ali Kw., terbukti dengan do’a shalat seluruh ummat Islam[2], yaitu :
اللهم صلى على سيدنا محمد و على ال سيدنا محمد
Artinya:
“Ya Allah, shalwatlah atas Penghulu kami Muhammad dan atas keluarga Penghulu kami Muhammad”.
Dan tersebut dalam kitab Hadits:
دعا رسول الله صلى الله عليه وسلم عليا و فاطمة و حسنا و حسينا فقال : اللهم هولاءاهلى
“Rasulullah SAW. memanggil Saidina ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husein, maka beliau berkata: Ya Allah, mereka inilah keluargaku”
(HR Muslim Syarah Muslim Juz XV hal. 176)

2.      Saidina ‘Ali Kw, Bukan Syi’ah Dan Bukan Imam Kaum Syi’ah Saja
Saidina ‘Ali Kw. Siti Fathimah Ra., Hasan dan Husein, dan ‘Abbas bin Abdul Muthalib bukanlah kaum Syi’ah karena beliau-beliau itu tidak sepaham dengan kaum Syi’ah.
Sejarah telah membuktikan :
a.       Saidina ‘Ali Kw. Siti Fathimah Ra. ikut membai’ah (mengangkat) Saidina Abu Bakar menjadi khalifah yang pertama, walaupun agak terlambat.
b.      Saidina ‘Ali Kw. ikut membai’ah Khalifah yang kedua, yaitu Saidina Umar bin Khathab.
c.       Saidina ‘Ali Kw. ikut membai’ah Saidina Utsman, Khalifah yang ketiga walaupun beliau termasuk salah seorang calon untuk itu dan termasuk seorang anggota pemilih.
Beliau tidak mencalonkan dirinya dan tidak memilih dirinya.
Andaikata ada wasiat Nabi Muhammad SAW. kepadanya, bahwa yang harus menjadi Khalifah sesudah Nabi wafat adalah ia sendiri tentulah beliau tidak akan membai’ah Saidina Abu Bakar, Umar dan Utsman Ra.
Andaikata ada wasiat itu, tentulah beliau kemukakan kepada sahabat-sahabat yang berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah untuk memilih Khalifah yang pertama.
Saidina ‘Ali Kw. mengetahui bahwa Nabi Muhammad SAW. sebelum wafat tidak berwasiat bahwa khalifah sesudah beliau meninggal adalah ‘Ali.

3.      Abdullah Bin Saba’ Biang Keladi Gerakan Syi’ah
Ada seorang pendeta Yahudi dari Yaman masuk agama Islam, namanya Abdullah bin Saba’. Sesudah ia masuk Islam lantas datang ke Madinah pada akhir-akhir tahun kekuasaan Khalifah Saidina Utsman bin Affan, yaitu sekitar tahun 30 H.
Orang ini kebetulan tidak begitu mendapat penghargaan dari Khalifah Utsman Ra. dan orang-orang besar di Madinah sebagai yang diharapkannya. Ia menyangka pada mulanya bahwa ia kalau ia datang ke Madinah ia akan disambut dengan kebesaran sebab dia adalah seorang pendeta besar dari Yahudi Yaman yang masuk Islam.
Harapannya ini meleset, maka karena itu ia jengkel.
Pada mulanya ia benci kepada Khalifah Saidina Utsman karena Khalifah tak menyambutnya. Ia membangunkan gerakan anti Saidina Utsman dan berusaha meruntuhkannya dan menggantinya dengan Saidina ‘Ali Kw.
Usaha Abdullah bin Saba’ ini mendapat pasaran dikota-kota besar ummat Islam ketika itu, seperti di Madinah, Mesir, Kuffah, Basrah, dan lain-lain, karena kebetulan orang-orang sudah banyak pula yang tidak sesuai dengan Saidina Utsman, karena beliau menghilangkan cincin stempel Nabi Muhammad SAW. dan beliau juga banyak mengangkat orang-orang dari suku beliau, yaitu orang-orang Bani Umayyah menjadi pengusaha-pengusaha daerah.
Abdullah bin Saba’ sangat berlebih-lebihan mengagung-agungkan Saidina ‘Ali dan sangat berani membuat hadits-hadits palsu yang bertujuan menganggungkan Saidina ‘Ali Kw. dan merendahkan Saidina Utsman, Saidina Umar bin Khathab, dan Saidina Abu Bakar Ra., yaitu Khalifah-khalifah yang terdahulu.
4.      Peperangan Sesama Islam
Dalam masa kekhalifahan Saidina ‘Ali pada tahun 36 H terjadi perang yang dinamakan “Perang Jamal”, Perang Onta, yaitu antara Saidina ‘Ali disatu pihak dan tentara Siti ‘Aisyah, Thalhah dan Zuber dilain pihak
Bukan kecil peperangan ini. Saidina ‘Ali membawa lasykarnya sebanyak 200.000 orang dan Siti ‘Aisyah juga membawa lasykar sebanyak itu.
Akhirnya Siti ‘Aisyah kalah, Thalhah dan Zuber mati terbunuh dan Ummul mu’minin dijadikan tawanan, tetapi dihormati sebagai Ibu dan diantar kembali ke Makkah dengan segala kehormatan.
Kaum Syi’ah berfatwa bahwa sekalian orang yang ikut perang Jamal di pihak Siti ‘Aisyah kafir, baik pemimpinnya maupun anak buahnya karena mereka memberontak kepada Khalifah yang sah yaitu Saidina ‘Ali.
5.      Peperangan Siffin
Pada tahun 37 H terjadilah apa yang dinamakan “Peperangan Siffin” yang terkenal, diantara Khaifah Saidina ‘Ali Kw. dan pasukan Mu’awiyah, di sesuatu tempat di Iraq yang bernama “Siffin”.
Jalannya peperangan menguntungkan pasukan Saidina ‘Ali Kw., hampir seluruh pasukan Mu’awiyah lari kucar-kacir. Akan tetapi mereka menjalankan siasat, yaitu menyerukan “cease fire” (penghentian tembak menembak).
Mereka mengikatkan beberapa kitab suci Al-Qur’an diujung tombak mereka dan mengacungkan ke atas sambil meneriakkan penghentian tembak menembak dan berhukum pada Al-Qur’an.
Saidina ‘Ali pada mulanya tidak mau menerima ajakan ini, karena beliau tahu bahwa hal itu adalah siasat dari orang yang hampir kalah, minta menghentikan peperangan untuk sementara menyusun kekuatan kembali.
Tetapi Saidina ‘Ali didesak oleh sebahagian tentaranya, sehingga ada yang mengatakan kepada beliau: “kenapa kita tidak mau berhukum pada Qur’an?”
Akhirnya Saidina ‘Ali menerima tawaran “penghentian tembak-menembak”, dan berhentilah peperangan. Pasukan Saidina ‘Ali pulang ke Baghdad dan pasukan Mu’awiyah pulang ke Damaskus.
Disusun delegasi kedua belah pihak untuk melanjutkan perundingan. Pihak Saidina ‘Ali menyusun delegasi di bawah pimpinan Abu Musa Al Asy’ari, sedang pihak Mu’awiyah adalah ‘Amru bin ‘Ash

Pokok-pokok Pikiran Syi’ah
Kaum Syi’ah memiliki 5 pokok pikiran utama yang harus dianut oleh para pengikutnya diantaranya yaitu at tauhid, al ‘adl, an nubuwah, al imamah dan al ma’ad[3].
1.      At tauhid
Kaun Syi’ah juga meyakini bahwa Allah SWT itu Esa, tempat bergantung semua makhluk, tidak beranak dan tidak diperanakkan dan juga tidak serupa dengan makhluk yang ada di bumi ini. Namun, menurut mereka Allah memiliki 2 sifat yaitu al-tsubutiyah yang merupakan sifat yang harus dan tetap ada pada Allah SWT. Sifat ini mencakup ‘alim (mengetahui), qadir (berkuasa), hayy (hidup), murid (berkehendak), mudrik (cerdik, berakal), qadim azaliy baq (tidak berpemulaan, azali dan kekal), mutakallim (berkata-kata) dan shaddiq (benar). Sedangkan sifat kedua yang dimiliki oleh Allah SWT yaitu al-salbiyah yang merupakan sifat yang tidak mungkin ada pada Allah SWT. Sifat ini meliputi antara tersusun dari beberapa bagian, berjisim, bisa dilihat, bertempat, bersekutu, berhajat kepada sesuatu dan merupakan tambahan dari Dzat yang telah dimilikiNya.
2.      Al ‘adl
Kaum Syi’ah memiliki keyakinan bahwa Allah memiliki sifat Maha Adil. Allah tidak pernah melakukan perbuatan zalim ataupun perbuatan buruk yang lainnya. Allah tidak melakukan sesuatu kecuali atas dasar kemaslahatan dan kebaikan umat manusia. Menurut kaum Syi’ah semua perbuatan yang dilakukan Allah pasti ada tujuan dan maksud tertentu yang akan dicapai, sehingga segala perbuatan yang dilakukan Allah Swt adalah baik. Jadi dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep keadilan Tuhan yaitu Tuhan selalu melakukan perbuatan yang baik dan tidak melakukan apapun yang buruk.Tuhan juga tidak meninggalkan sesuatu yang wajib dikerjakanNya.
3.      An nubuwwah
Kepercayaan kaum Syi’ah terhadap keberadaan Nabi juga tidak berbeda halnya dengan kaum muslimin yang lain. Menurut mereka Allah mengutus nabi dan rasul untuk membimbing umat manusia. Rasul-rasul itu memberikan kabar gembira bagi mereka-mereka yang melakukan amal shaleh dan memberikan kabar siksa ataupun ancaman bagi mereka-mereka yang durhaka dan mengingkari Allah SWT. Dalam hal kenabian, Syi’ah berpendapat bahwa jumlah Nabi dan Rasul seluruhnya yaitu 124 orang, Nabi terakhir adalah nabi Muhammad SAW yang merupakan Nabi paling utama dari seluruh Nabi yang ada, istri-istri Nabi adalah orang yang suci dari segala keburukan, para Nabi terpelihara dari segala bentuk kesalahan baik sebelum maupun sesudah diangkat menjadi Rasul, Al Qur’an adalah mukjizat Nabi Muhammad yang kekal, dan kalam Allah adalah hadis (baru), makhluk (diciptakan) hukian qadim dikarenakan kalam Allah tersusun atas huruf-huruf dan suara-suara yang dapat di dengar, sedangkan Allah berkata-kata tidak dengan huruf dan suara.
4.      Al imamah
Bagi kaun Syi’ah imamah berarti kepemimpinan dalam urusan agama sekaligus dalam dunia.Ia merupakan pengganti Rasul dalam memelihara syari’at, melaksanakan hudud (had atau hukuman terhadap pelanggar hukum Allah), dan mewujudkan kebaikan serta ketentraman umat. Bagi kaum Syi’ah yang berhak menjadi pemimpin umat hanyalah seorang imam dan menganggap pemimpin-pemimpin selain imam adlah pemimpin yang ilegal dan tidak wajib ditaati. Karena itu pemerintahan Islam sejak wafatnya Rasul (kecuali pemerintahan Ali Bin Abi Thalib) adalah pemerintahan yang tidak sah. Di samping itu imam dianggap ma’sum, terpelihara dari dosa sehingga iamam tidak berdosa serta perintah, larangan tindakan maupun perbuatannya tidak boleh diganggu gugat ataupun dikritik.
5.      Al Ma’ad
Secara harfiah al ma’dan yaitu tempat kembali, yang dimaksud disini adalah akhirat. Kaum Syi’ah percaya sepenuhnya bahwahari akhirat itu pasti terjadi. Menurut keyakinan mereka manusia kelak akan dibangkitkan, jasadnya secara keseluruhannya akan dikembalikan ke asalnya baik daging, tulang maupun ruhnya. Dan pada hari kiamat itu pula manusia harus memepertanggungjawabkan segala perbuatan yang telah dilakukan selama hidup di dunia di hadapan Allah SWT. Pada saaat itu juga Tuhan akan memberikan pahala bagi orang yang beramal shaleh dan menyiksa orang-orang yang telah berbuat kemaksiatan[4].

Rasionalisme Syiah
Dalam kaitan ini, aliran teologi dan filsafat syi’ah menarik untuk kita amati. Kedua kelompok yang telah kita sebutkan sebelumnya, mu’tazilah dan asy’ari, berasal dari pemikiran sunni. Sedangkan syi’ah sebagaimana mereka bersikap mandiri dalam furu’. Mereka juga bersikap mandiri dalam ushul teologi dan filsafatnya’ yaitu apa yang disebut dengan kajian-kajian islam(al-ma’arif al islamiyyah).[5]
Dalam aliran teologi dan filsafat syi’ah, persoalan keadilan dan tauhid telah dipecahkan secara lebih mendalam. Ihwal empat persoalan yang sudah dibicarakan keadilan’akal’kebebasan’dan hikmah. Syi’ah membela mazhab mu’tazilah, karenanya mereka pun dipandang sebagai bagian dari kaum “Al-‘adliyyah”, yakni termasuk yang mengakui keadilan ilahi. Hanya saja, kaum syi’ah memaknai keempat konsep itu berbeda dengan kaum mu’tazilah. Dalam persoalan kebebasan, misalnya, Syi’ah tidak memaknainya dengan konsep tafwidh mutlak kepada manusia, sehingga bisa dipandang sebagai penafian atas kebebasan berkehendak zat al-haqq dan penuhanan manusia, serta penyekutuannya dalam tugas-tugas Allah. Untuk pertama kalinya. Berdasarkan ajaran imam suci yang dapat dipandang sebagai sumber inspirasi bagi mazhab ini, Syi’ah menafsirkan kebebasan itu dalam ungkapan yang terkenal dari imam-imam mereka yang berbunyi :”bukan jabr,bukan pula tafwidh. Tapi, pilihan tengah diantara dua ekstrem”(la jabr wala tafwidh, bal amrun bayna al-amryan).
Syi’ah mendukung prinsip keadilan dalam konsep yang komprehensif, tanpa harus mengorbankan tauhid af’al tauhid zat. Dengan bagitu,keadilan memperoleh posisinya yang tepat di sisi tauhid. Memang benar apa yang dikatakan bahwa “keadilan dan tauhid adalah dua konsep ‘alawi, sedangkan presdestinasi(jabr) dan antropomorfisme (tasybih) adalah dua konsep umawi.
Mazhab ini telah membuktikan kesejatian keadilan. Otoritas akal, sosok manusia yang bebas memilih, dan sistem alam yang bijaksana tanpa harus sedikit pun menodai prinsip tauhid dalam zat atau perbuatan Allah. Syi’ah menetapkan kebebasan manusia tanpa harus menjadikannya sekutu dalam “kerajaan ilahi” dan tanpa harus menjadikan kehendak Tuhan terkalahkan atau terpasung oleh kehendak manusia. Demikian pula, syi’ah mengakui qadha dan qadr ilahi tanpa harus mengubah manusia menjadi alat yang dioperasikan menuju qadha dan qadr tersebut.
Dalam mazhab teologi syi’ah, persoalan yang berkaitan dengan tauhid telah dipecahkan dalam bentuk yang benar-benar memanifestasikan tauhid. Menyangkut  persoalan tauhid dan keberagaman sifat, syi’ah memilih tauhid dalam sifat-sifat ilahi. Sekali pun sejalan dengan mu’tazilah dan menentang akidah asy’ari. Syi’ah berbeda dengan mu’tazilah yang menafikan (eksistensi mandiri) sifat-sifat ilahi dan terpaksa meyakini bahwa zat mewakili segenap sifatNya(inabah). Kaum syi’ah berpendapat bahwa sifat-sifat Allah menyatu dan identik dengan zat-Nya. Pandangan ini merupakan ma’rifat ilahi yang paling mendalam. Ihwal tauhid dalam perbuatan-perbuatan Allah, syi’ah mendukung pendapat kaum asy’ari, tanpa terpaksa menolak hukum kausa-efek sebagaimana yang telah dilakukan oleh asy’ari. Mazhab teologi syi’ah menjelaskan persoalan tauhid zat,sifat,dan perbuatan ilahi dalam konsep yang belum pernah ada tandingannya di alam ini. [6]
Sehubungan dengan ilmu ketuhanan dalam arti mkhusus, para filsuf muslim telah berhasil membangun landasan-landasan kukuh yang di satu segi karena adanya prinsip-prinsip pembuktian yang shahih, dan di segi yang lain kerena adanya  inspirasi dari ajaran-ajaran islam. Para filsuf muslim telah memaknai keadilan sebagai hakikat yang mengandung objektivitas, tanpa menjadikan zat ilahi terpasung oleh semacam predestinasi dan tunduk pada hikum yang telah mendahului-Nya. Sehingga merusak “kekuasaan” mutlak dan tetap zat pencipta jalla wa ‘ala. Adapun kebaikan dan keburukan rasional telah dimaknai oleh para filsuf sebagai dua hal yang keluar dari daerah pengetahuan-pengetahuan teoritis yang nilainya terbatas pada tingkat penyingkapannya terhadap pemikiran-pemikiran pasti dalam tataran praktis dan sosial. Karenanya, ia tidak beda dengan para teolog, para filsuf selamanya tidak pernah menggunakan konsep (baik buruk rasional) dalam konteks ilmu-ilmu ketuhanan.
Menyangkut persoalan maksud dan tujuan, para filsuf membaginya menjadi tujuan perbuatan dan tujuan pelaku, sementara konsep hikmah pada sang pencipta dipadankan dengan konsep inayah dan penyampaian sesuatu pada tujuannya. Dengan begitum masalah taklif menjadi jelas maknanya. Para filsuf mengatakan bahwa setiap perbuatan memiliki tujuan, dan tujuan dari segala tujuan adalah zat Allah yang maha kudus. Segala sesuatu bersumber dari-Nya dan kembali kepada-Nya. [7]
Seperti sudah kita ketahui, setiap bahasan ini memiliki latarbelakang berbagai gagasan yang luas sekali. Tidak mungkin saya jelaskan lebih dari yang telah saya paparkan disini.
Pembagian Syiah

a.      Syi’ah itsna asyariah( syiah dua belas/ syi’ah imamiah)
Dinamakan syi’ah imamiah, karena menjadi dasar akidah nya adalah permasalahan imam dalam arti pemimpin religio politi. yakni Ali berhak  menjadi khalifah  bukan karena kecakapan nya atau keilmuan nya akan teetapi ide tentang hak Ali dan keturunen nya untuk menduduki jabatan  kahlifah telah ada sejak Nabi wafat,  yaitu dalam pembincangan politik saqifah bani sa’idah[8].
Doktrin-doktrin nya :
1.      Tauhid (The devne Unity)
Tuhan adalah essa baik esensi maupun eksistensi nya, keesaan adalah mutlak, ia ber eksistensi dengan sendiri nya. Tuhan adalah qadim
2.      Keadilan (The devine justice)
Tuhan menciptakan kebaikan di alam semesta ini merupakan ke adilan, ia tidak pernah menghiasi ciptaan Nya dengan ketidakadilan.
3.      Nubuwwah (apossteship)
Setiap makluk meskipun telah di beri insting, masih juga membutuh kan petunjuk, baik petunjuk dari tuhan maupun dari manusia. Rasul merupakan petunjuk hakiki utusan tuhan.
4.      Ma’ad (The last day )
Ma’ad adalah Hari akhir, untuk menghadap pengailan di akhirat. Setiap muslim harus yakin atas keberadaan hari kiamat, dan kehidupaqn suci setelah d nyatakan bersih dan lurus dalam pengadilan tuhan.
5.      Imammiah (The devine Guidance)
Imammiah adalah institusi di nagurasikan tuhan untuk memberikan petunjuk manusia yang di tunjuk dari keturunan Ibrahim  dan di deligrasikan kepada keturunan Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhi.

b.      Syi’ah sab’ah (syiah tujuh)
Istilah syi’ah sb’ah (syi’ah tujuh) di analogikan dengan syia’ah itsna asyarah. Istilah itu memberikan bahwa sekte syi’ah sab’ah hanya mengakui tujuh imam[9].
            Doktrin-doktrin nya
Islam di bangun oleh tujuh pilar, tujuh pilar itu adalah imam, thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, dan jihad.
Syarat menjadi ima
1.      Imam harus bersal dariketurunan ali
2.      Imam harus harus berdasarkan petunjuk atau na
3.      Keimanan jatuhh pada anak tertua.
4.      Imam harus di jabat oleh seseorang  yang paling baik
 
c.   Syi’ah zaidiah
Disebut zaidiyah karena sekte ini mengikuti Zaid bin Ali sebagai imam ke lima, putra imam ke empat, ali zainal abiding.
Doktrin-doktrin nya
a.        Imammah sebagai fundamental nya dalam syi’ah

Syarat menjadi imam
1.      Merupakan dari keturunan  al-bait
2.      Memiliki kemampuan militer
3.      Memiliki kecendrungan intelektualisme yang dapat di buktikan dengan ide dan karya dalam keagamaan.
d.       Syi’ah Ghulat
`Istilah ghulat berasal  dari nkata ghala-yahglu-ghuluw artinya bertambah dan naik. Ghala bin addin artinya memperkuat dan menjadi ekstrim sehingga melampui batas.
Alghulabi membagi 15 sekte-sekte aliran ini yang di kenal antara lain ; Sabahiyah, kamaliah,albaiyah, Mughriyah, mansuriyah, ku,miah,Yunusiyah, Nasyisiyahwaisyaqiyah.
Doktrin-doktrin
1.      Tamasyuk, yaitu Keluar nay roh dari satu jasad dan mengambil tempat pada jasad yang lain
2.      Bada’, yaitu Keyakinan bahwa allah  mengubah kehendak nya sejalan dengan perubahan ilmu nya
3.      Raj’ah, yaitu Ajaran syiah semua nya mhdi al-Muntazar
4.      Tasbih, Yaitu menyerupakan salah seorang imam mereka dengan tuhan atau menyerupai tuhan dengan makluk nya
5.      Hulul, yaitu tuhan berada setiap tempat[10].

Metode Fiqh Syi’ah
Sebagaimana halnya teologi dan filsafat syi’ah memiliki metodologinya sendiri, demikian juga fiqh dan ijtihad dikalangan mereka juga mengambil tren yang terpisah. Fiqh Syi’ah menegaskan prinsip pengindukan hukum syariat kepada kemahlahatan  dan kemafsadatan esensial(dzatiyyah). Ia juga mengakui prinsip kesesuaian hukum akal dan syariat, dengan memelihara hak akal untuk berijtihad. Ihwal qiyas dan  ra’yu yang diserang oleh ahli hadits dan dipandang sebagai salah satu kesalahan ahli qiyas dan ra’yu, mazhab syi’ah juga menganggapnya sebagai kesalahan.[11]
Namun, kritik yang dilontarkan oleh syi’ah terhadap qiyas tidak sama dengan kritik ahli hadis yang mengatakan bahwa akal bukanlah hujah  dan bukan pula dalil syar’I dalam mengambil hukum. Ada dua alasan kritis yang diajukan oleh syi’ah terhadap ra’yu dan qiyas. Pertama, ra’yu dan qiyas adalah penggunaan asumsi bukan penggunaan pengetahuan ikut pada ajakan imajinasi, bukan  taat pada  tuntutan akal .kedua merujuk pada ra’yu dan qiyas akan berimplikasi pada anggapan bahwa prinsip-prinsip universal islam sebagai tidak memadai dan tidak sempurna .padahal, anggapan itu merupakan kezaliman atas islam atau memanifestasi kebodohan mengenainya. Benar bahwa hukum-hukum berkenaan dengan kasus-kasus partikularl dan individual tidak dijelaskan .dan kalau ingin dijelaskan tentu mustahil melakukannya lantaran kasus-kasus  partikurar(juz’iyyat) itu tidak pernah ada habisnya tapi prinsip-prinsip universal(kulliyyat) islam telah tersusun sedemikian rupa sehingga kita dapat mengaplikasikannya pada segenap kasus yang berbeda-beda dalam kondisi ruang dan waktunya.
Seorang faqih tidak harus terpaku pada teks dan mencari hukum bagi setiap kasus partikular dari Alqur’an atau hadits. Manakala tidak mendapatkan hukum menyangkut kasus tertentu dia juga tidak bisa lantas menjadikannya  sebagai dalih untuk menempuh jalan imajinasi dan qiyas, melainkan yang harus dilakukannya ialah melakukan tafri dan mengembalikan kasus furu’ kepada ushulnya. Semua ushul islam terdapat dalam Alqur’an dan Sunnah, hanya saja kerja ini memerlukan “kiat” atau “seni” tertentu. Kiat itu disebut dengan “ijtihad”, yaitu apengaplikasian prinsip-prinsip universal islam secara sadar pada contoh kasusnya yang berubah-ubah.
Dalam  Al-Kahfi, terdapat sebuah bab berjudul “Tidak ada satu persoalan pun kecuali ia memiliki ushulnya di dalam Alqur’an dan Sunnah”. Karenanya fiqh islam syi’ah meyakini prinsip keadilan, prinsip subordinasi hukum pada kemaslahatan dan kemafsadatan esensial,prinsip kebaikan dan keburukan rasional, dan prinsip keotoritatifan akal (hujjiyyat al-‘aql). Akhirnya prinsip keadilan menempati kedudukannya yang layak dalam fiqih tersebut.
Fiqh Syi’ah membedakan akal dari imajinasi, pembuktian demonstratif (burhan) dari qiyas yang asumtif, yang dalam logika disebut dengan analogi. Fiqih Syi’ah memandang ada empat sumber fiqih : Al-qur’an,Sunnah,Ijma’ dan akal. Mazhab ini tidak mengakui ra’yu dan qiyas sebagai sumber hukum fiqih yang diakuinya adalah akal dan pembuktian demonstrative yang dikenal dengan burhan[12].
Contoh furu’ mereka, ialah membolehkan nikah mut’ah, bahkan mereka memandang nikah mut’at itu suatu ibadat, mengharamkan perkawinan dengan wanita kitabiyah. Mereka mendahulukan anak paman seayah agar sesuai dengan pendirian mereka yang mendahulukan Ali atas Abbas. Dalam mazhab mereka tidak ada aul (tambah bagian). Mereka mendahulukan kerabat dekat atas nasabah. Apabila seorang meninggal dengan meninggalkan anak perempuan dan anak lelaki dari anak lelaki (cucu), maka semua harta diberikan kepada anak perempuan karena dekatnya kepada yang meninggal. Mereka memberikan kepada istri harta yang bergerak, tidak harta yang tetap. Para nabi menuntut mereka dapat memberikan pusaka, karena itu dapat mereka katakan bahwasanya khalifah dapat dipusakakan. Dan kaki pada waktu berwudhu disapu saja, bukan di basuh. Dan perkataan hayya ‘ala khairil amal  = marilah kepada sebaik-baik pekerjaan, sesudah hayya ‘alal falah[13].



KESIMPULAN
      Perpecahan yang di mulai pertama dalam masyarakat muslim, secara implisit merupakan tentang suatu idiologi terutama sekali pemberontakan melelui kematian usman dan sebagian berpaebdapat mengenei pengkhianatan tahkim. Beberapa orang setelah itu, seperti Muawiyah melawan Ali, Talhah bin zubair, yang melawan Ali adalah murni perbuatan politik. Pemberontakan atas nama keadilan itu di pimpin oleh khawarij, kemudian di mulai denagn Zaid , cicit nya.  Ali dan pengikut nya di kenel dengan Zaidiyah. Khawarij adalah masyarakat yang sangat puritan. Idealis dan egaliter  di mana pergerakan wanita nya  juga menempak kan peranan yang penting. Pembarontak khawarij dan perang saudara ini mengakibat kan reaksi keras pada umat islam secara umum, masyarakat membenarkan menolak pemberontak  dan pembunuhan terhadap “dosa besar”  tindakan itu sulit untuk melawan pemerintahan mereka, reaksi yang sangat popular ini menimbulkan dukungan sikap para pasif atau minimal Non-aktivis di masyarakat ini di kenal irja’. Gagasan yang lebih baik dari pada mengambil pedang di tangan seseorang dan membenarkan kesalahan orang. Seseorang harus menyerahkan masalah kepada keputusan tuhan dan berharap maaf nya.


Daftar Pustaka

Muthahhar,Murttadha. (1992). Keadilan Ilahi. Bandung : Mizan Media Utama.

Hasbi,Teungku Muhammad. (1999).  Sejarah&Pengantar ILMU TAUHID/KALAM. Semarang : Pustaka Rizki Putra.
Abbas, Siradjuddin. (2008).  I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah. Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru. 
http://copast-master.blogspot.com/2012/10/makalah-aliran-siah_23.html





[1]Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, 2008), hlm, 93.

[2] Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah..., hlm, 94.
[3] http://copast-master.blogspot.com/2012/10/makalah-aliran-siah_23.html

[4] http://copast-master.blogspot.com/2012/10/makalah-aliran-siah_23.html
[5]Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi, (Bandung : Mizan Media Utama,1992), hal 30-33
[6]Persoalan ini talah dijelaskan secara terperinci di buku Fi Rihab Nahj al-balaghah,bab tauhid.
[7]QS.AL-Najm [53] : 42
[11] Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi, (Bandung : Mizan Media Utama,1992), hlm.36-37.
[12] Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi, (Bandung : Mizan Media Utama,1992), hlm.37.

[13] Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah&Pengantar ILMU TAUHID/KALAM, ( Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm.152.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar