PENDAHULUAN
adalah madzhab yang pertama lahir dalam Islam.
Madzhab Syiah memiliki visi politiknya sendiri, sebagian dekat dan sebagian
lain jauh dari agama. Madzhab ini tampil pada akhir masa pemerintahan
Utsman, kemudian tumbuh dan berkembang pada masa Ali. Setiap kali Ali
berhubungan dengan masyarakat, mereka semakin mengagumi bakat-bakat, kekuatan
beragama, dan ilmunya. Karena itu para propagandis Syiah mengeksploitasi
kekaguman mereka terhadap Ali untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka
tentang dirinya.
Di antara
pemikiran itu ada yang menyimpang, dan ada pula yang lurus. Ketika keturunan
Ali yang sekaligus keturunan Rasulullah mendapat perlakuan zalim yang semakin
hebat dan banyak mengalami penyiksaan pada masa bani Umayyah, rasa cinta mereka
terhadap keturunan Ali semakin mendalam. Mereka memandang Ahlulbait ini sebagai
Syuhada dan korban kedzaliman. Dengan demikian, semakin meluaslah daerah
madzhab Syiah dan pendukungnya semakin banyak. Golongan Syiah beranggapan bahwa
Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan anak keturunannya lebih berhak menjadi
khalifahdaripada orang lain, berdasarkan wasiat Nabi. Masalah khalifah ini
adalah soal politik yang dalam perkembangan selanjutnya mewarnai pandangan
mereka di bidang agama.
Sejarah
Syi’ah
Syi’ah dalam bahasa Arab berarti pengikut. Arti
“Kaum Syi’ah” menurut istilah yang dipakai dalam lingkungan ummat Islam ialah
kaum yang beri’itiqad bahwa Saidina Ali Kw. Adalah orang yang berhak menjadi
Khalifah pengganti Nabi, karena Nabi berwasiat bahwa pengganti beliau sesudah
wafat adalah Saidina Ali[1].
1. Keterangan
Yang Keliru
Ada beberapa kaum Orientalist yang menerangkan bahwa
paham Syi’ah itu ialah paham yang mencintai Saidina ‘Ali atau orang-orang
yang mencintai ahli bait Rasulullaah.
Keterangan ini keliru, karena kaum Ahlussunnah dan
bahkan seluruh ummat Islam mencintai Ahli Bait, khususnya Saidina ‘Ali Kw.,
terbukti dengan do’a shalat seluruh ummat Islam[2],
yaitu :
اللهم
صلى على سيدنا محمد و على ال سيدنا محمد
Artinya:
“Ya Allah, shalwatlah atas Penghulu kami
Muhammad dan atas keluarga Penghulu kami Muhammad”.
Dan
tersebut dalam kitab Hadits:
دعا
رسول الله صلى الله عليه وسلم عليا و فاطمة و حسنا و حسينا فقال : اللهم هولاءاهلى
“Rasulullah
SAW. memanggil Saidina ‘Ali, Fathimah,
Hasan dan Husein, maka beliau berkata: Ya Allah, mereka inilah keluargaku”
(HR
Muslim Syarah Muslim Juz XV hal. 176)
2. Saidina
‘Ali Kw, Bukan Syi’ah Dan Bukan Imam Kaum Syi’ah Saja
Saidina ‘Ali Kw. Siti Fathimah Ra., Hasan dan
Husein, dan ‘Abbas bin Abdul Muthalib bukanlah kaum Syi’ah karena beliau-beliau
itu tidak sepaham dengan kaum Syi’ah.
Sejarah
telah membuktikan :
a. Saidina
‘Ali Kw. Siti Fathimah Ra. ikut membai’ah (mengangkat) Saidina Abu Bakar
menjadi khalifah yang pertama, walaupun agak terlambat.
b. Saidina
‘Ali Kw. ikut membai’ah Khalifah yang kedua, yaitu Saidina Umar bin Khathab.
c. Saidina
‘Ali Kw. ikut membai’ah Saidina Utsman, Khalifah yang ketiga walaupun beliau
termasuk salah seorang calon untuk itu dan termasuk seorang anggota pemilih.
Beliau
tidak mencalonkan dirinya dan tidak memilih dirinya.
Andaikata
ada wasiat Nabi Muhammad SAW. kepadanya, bahwa yang harus menjadi Khalifah
sesudah Nabi wafat adalah ia sendiri tentulah beliau tidak akan membai’ah
Saidina Abu Bakar, Umar dan Utsman Ra.
Andaikata ada wasiat itu, tentulah beliau kemukakan
kepada sahabat-sahabat yang berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah untuk memilih
Khalifah yang pertama.
Saidina ‘Ali Kw. mengetahui bahwa Nabi Muhammad SAW.
sebelum wafat tidak berwasiat bahwa khalifah sesudah beliau meninggal adalah
‘Ali.
3. Abdullah
Bin Saba’ Biang Keladi Gerakan Syi’ah
Ada seorang pendeta Yahudi dari Yaman masuk agama
Islam, namanya Abdullah bin Saba’. Sesudah ia masuk Islam lantas datang ke
Madinah pada akhir-akhir tahun kekuasaan Khalifah Saidina Utsman bin Affan, yaitu
sekitar tahun 30 H.
Orang ini kebetulan tidak begitu mendapat
penghargaan dari Khalifah Utsman Ra. dan orang-orang besar di Madinah sebagai
yang diharapkannya. Ia menyangka pada mulanya bahwa ia kalau ia datang ke
Madinah ia akan disambut dengan kebesaran sebab dia adalah seorang pendeta besar
dari Yahudi Yaman yang masuk Islam.
Harapannya ini meleset, maka karena itu ia jengkel.
Pada mulanya ia benci kepada Khalifah Saidina Utsman
karena Khalifah tak menyambutnya. Ia membangunkan gerakan anti Saidina Utsman
dan berusaha meruntuhkannya dan menggantinya dengan Saidina ‘Ali Kw.
Usaha Abdullah bin Saba’ ini mendapat pasaran
dikota-kota besar ummat Islam ketika itu, seperti di Madinah, Mesir, Kuffah,
Basrah, dan lain-lain, karena kebetulan orang-orang sudah banyak pula yang
tidak sesuai dengan Saidina Utsman, karena beliau menghilangkan cincin stempel
Nabi Muhammad SAW. dan beliau juga banyak mengangkat orang-orang dari suku
beliau, yaitu orang-orang Bani Umayyah menjadi pengusaha-pengusaha daerah.
Abdullah bin Saba’ sangat berlebih-lebihan mengagung-agungkan
Saidina ‘Ali dan sangat berani membuat hadits-hadits palsu yang bertujuan
menganggungkan Saidina ‘Ali Kw. dan merendahkan Saidina Utsman, Saidina Umar
bin Khathab, dan Saidina Abu Bakar Ra., yaitu Khalifah-khalifah yang terdahulu.
4. Peperangan
Sesama Islam
Dalam masa kekhalifahan Saidina ‘Ali pada tahun 36 H
terjadi perang yang dinamakan “Perang Jamal”, Perang Onta, yaitu antara Saidina
‘Ali disatu pihak dan tentara Siti ‘Aisyah, Thalhah dan Zuber dilain pihak
Bukan kecil peperangan ini. Saidina ‘Ali membawa
lasykarnya sebanyak 200.000 orang dan Siti ‘Aisyah juga membawa lasykar
sebanyak itu.
Akhirnya Siti ‘Aisyah kalah, Thalhah dan Zuber mati
terbunuh dan Ummul mu’minin dijadikan tawanan, tetapi dihormati sebagai Ibu dan
diantar kembali ke Makkah dengan segala kehormatan.
Kaum Syi’ah berfatwa bahwa sekalian orang yang ikut
perang Jamal di pihak Siti ‘Aisyah kafir, baik pemimpinnya maupun anak buahnya
karena mereka memberontak kepada Khalifah yang sah yaitu Saidina ‘Ali.
5. Peperangan
Siffin
Pada tahun 37 H terjadilah apa yang dinamakan
“Peperangan Siffin” yang terkenal, diantara Khaifah Saidina ‘Ali Kw. dan
pasukan Mu’awiyah, di sesuatu tempat di Iraq yang bernama “Siffin”.
Jalannya peperangan menguntungkan pasukan Saidina
‘Ali Kw., hampir seluruh pasukan Mu’awiyah lari kucar-kacir. Akan tetapi mereka
menjalankan siasat, yaitu menyerukan “cease fire” (penghentian tembak
menembak).
Mereka mengikatkan beberapa kitab suci Al-Qur’an
diujung tombak mereka dan mengacungkan ke atas sambil meneriakkan penghentian
tembak menembak dan berhukum pada Al-Qur’an.
Saidina ‘Ali pada mulanya tidak mau menerima ajakan
ini, karena beliau tahu bahwa hal itu adalah siasat dari orang yang hampir
kalah, minta menghentikan peperangan untuk sementara menyusun kekuatan kembali.
Tetapi Saidina ‘Ali didesak oleh sebahagian
tentaranya, sehingga ada yang mengatakan kepada beliau: “kenapa kita tidak mau
berhukum pada Qur’an?”
Akhirnya Saidina ‘Ali menerima tawaran “penghentian
tembak-menembak”, dan berhentilah peperangan. Pasukan Saidina ‘Ali pulang ke
Baghdad dan pasukan Mu’awiyah pulang ke Damaskus.
Disusun delegasi kedua belah pihak untuk melanjutkan
perundingan. Pihak Saidina ‘Ali menyusun delegasi di bawah pimpinan Abu Musa Al
Asy’ari, sedang pihak Mu’awiyah adalah ‘Amru bin ‘Ash
Pokok-pokok Pikiran Syi’ah
Kaum Syi’ah
memiliki 5 pokok pikiran utama yang harus dianut oleh para pengikutnya
diantaranya yaitu at tauhid, al ‘adl, an nubuwah, al imamah dan al ma’ad[3].
1. At tauhid
Kaun Syi’ah juga meyakini bahwa Allah SWT itu Esa,
tempat bergantung semua makhluk, tidak beranak dan tidak diperanakkan dan juga
tidak serupa dengan makhluk yang ada di bumi ini. Namun, menurut mereka Allah
memiliki 2 sifat yaitu al-tsubutiyah yang merupakan sifat yang harus dan tetap
ada pada Allah SWT. Sifat ini mencakup ‘alim (mengetahui), qadir (berkuasa),
hayy (hidup), murid (berkehendak), mudrik (cerdik, berakal), qadim azaliy baq
(tidak berpemulaan, azali dan kekal), mutakallim (berkata-kata) dan shaddiq
(benar). Sedangkan sifat kedua yang dimiliki oleh Allah SWT yaitu al-salbiyah
yang merupakan sifat yang tidak mungkin ada pada Allah SWT. Sifat ini meliputi
antara tersusun dari beberapa bagian, berjisim, bisa dilihat, bertempat,
bersekutu, berhajat kepada sesuatu dan merupakan tambahan dari Dzat yang telah
dimilikiNya.
2. Al ‘adl
Kaum Syi’ah memiliki keyakinan bahwa Allah memiliki
sifat Maha Adil. Allah tidak pernah melakukan perbuatan zalim ataupun perbuatan
buruk yang lainnya. Allah tidak melakukan sesuatu kecuali atas dasar
kemaslahatan dan kebaikan umat manusia. Menurut kaum Syi’ah semua perbuatan
yang dilakukan Allah pasti ada tujuan dan maksud tertentu yang akan dicapai,
sehingga segala perbuatan yang dilakukan Allah Swt adalah baik. Jadi dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep keadilan Tuhan yaitu Tuhan selalu
melakukan perbuatan yang baik dan tidak melakukan apapun yang buruk.Tuhan juga
tidak meninggalkan sesuatu yang wajib dikerjakanNya.
3. An nubuwwah
Kepercayaan kaum Syi’ah terhadap keberadaan Nabi juga
tidak berbeda halnya dengan kaum muslimin yang lain. Menurut mereka Allah
mengutus nabi dan rasul untuk membimbing umat manusia. Rasul-rasul itu
memberikan kabar gembira bagi mereka-mereka yang melakukan amal shaleh dan
memberikan kabar siksa ataupun ancaman bagi mereka-mereka yang durhaka dan
mengingkari Allah SWT. Dalam hal kenabian, Syi’ah berpendapat bahwa jumlah Nabi
dan Rasul seluruhnya yaitu 124 orang, Nabi terakhir adalah nabi Muhammad SAW
yang merupakan Nabi paling utama dari seluruh Nabi yang ada, istri-istri Nabi
adalah orang yang suci dari segala keburukan, para Nabi terpelihara dari segala
bentuk kesalahan baik sebelum maupun sesudah diangkat menjadi Rasul, Al Qur’an
adalah mukjizat Nabi Muhammad yang kekal, dan kalam Allah adalah hadis (baru),
makhluk (diciptakan) hukian qadim dikarenakan kalam Allah tersusun atas
huruf-huruf dan suara-suara yang dapat di dengar, sedangkan Allah berkata-kata
tidak dengan huruf dan suara.
4. Al imamah
Bagi kaun Syi’ah imamah berarti kepemimpinan dalam
urusan agama sekaligus dalam dunia.Ia merupakan pengganti Rasul dalam
memelihara syari’at, melaksanakan hudud (had atau hukuman terhadap pelanggar
hukum Allah), dan mewujudkan kebaikan serta ketentraman umat. Bagi kaum Syi’ah
yang berhak menjadi pemimpin umat hanyalah seorang imam dan menganggap
pemimpin-pemimpin selain imam adlah pemimpin yang ilegal dan tidak wajib
ditaati. Karena itu pemerintahan Islam sejak wafatnya Rasul (kecuali
pemerintahan Ali Bin Abi Thalib) adalah pemerintahan yang tidak sah. Di samping
itu imam dianggap ma’sum, terpelihara dari dosa sehingga iamam tidak berdosa
serta perintah, larangan tindakan maupun perbuatannya tidak boleh diganggu
gugat ataupun dikritik.
5. Al Ma’ad
Secara
harfiah al ma’dan yaitu tempat kembali, yang dimaksud disini adalah akhirat.
Kaum Syi’ah percaya sepenuhnya bahwahari akhirat itu pasti terjadi. Menurut
keyakinan mereka manusia kelak akan dibangkitkan, jasadnya secara
keseluruhannya akan dikembalikan ke asalnya baik daging, tulang maupun ruhnya.
Dan pada hari kiamat itu pula manusia harus memepertanggungjawabkan segala
perbuatan yang telah dilakukan selama hidup di dunia di hadapan Allah SWT. Pada
saaat itu juga Tuhan akan memberikan pahala bagi orang yang beramal shaleh dan
menyiksa orang-orang yang telah berbuat kemaksiatan[4].
Rasionalisme Syiah
Dalam kaitan ini, aliran teologi dan filsafat syi’ah
menarik untuk kita amati. Kedua kelompok yang telah kita sebutkan sebelumnya,
mu’tazilah dan asy’ari, berasal dari pemikiran sunni. Sedangkan syi’ah
sebagaimana mereka bersikap mandiri dalam furu’. Mereka juga bersikap
mandiri dalam ushul teologi dan filsafatnya’ yaitu apa yang disebut
dengan kajian-kajian islam(al-ma’arif al islamiyyah).[5]
Dalam aliran teologi dan filsafat syi’ah, persoalan
keadilan dan tauhid telah dipecahkan secara lebih mendalam. Ihwal empat
persoalan yang sudah dibicarakan keadilan’akal’kebebasan’dan hikmah. Syi’ah
membela mazhab mu’tazilah, karenanya mereka pun dipandang sebagai bagian dari
kaum “Al-‘adliyyah”, yakni termasuk yang mengakui keadilan ilahi. Hanya saja,
kaum syi’ah memaknai keempat konsep itu berbeda dengan kaum mu’tazilah. Dalam
persoalan kebebasan, misalnya, Syi’ah tidak memaknainya dengan konsep tafwidh
mutlak kepada manusia, sehingga bisa dipandang sebagai penafian atas kebebasan
berkehendak zat al-haqq dan penuhanan manusia, serta penyekutuannya dalam
tugas-tugas Allah. Untuk pertama kalinya. Berdasarkan ajaran imam suci yang
dapat dipandang sebagai sumber inspirasi bagi mazhab ini, Syi’ah menafsirkan
kebebasan itu dalam ungkapan yang terkenal dari imam-imam mereka yang berbunyi
:”bukan jabr,bukan pula tafwidh. Tapi, pilihan tengah diantara
dua ekstrem”(la jabr wala tafwidh, bal amrun bayna al-amryan).
Syi’ah mendukung prinsip keadilan dalam konsep yang
komprehensif, tanpa harus mengorbankan tauhid af’al tauhid zat. Dengan
bagitu,keadilan memperoleh posisinya yang tepat di sisi tauhid. Memang benar
apa yang dikatakan bahwa “keadilan dan tauhid adalah dua konsep ‘alawi,
sedangkan presdestinasi(jabr) dan antropomorfisme (tasybih)
adalah dua konsep umawi.
Mazhab ini telah membuktikan kesejatian keadilan.
Otoritas akal, sosok manusia yang bebas memilih, dan sistem alam yang bijaksana
tanpa harus sedikit pun menodai prinsip tauhid dalam zat atau perbuatan Allah.
Syi’ah menetapkan kebebasan manusia tanpa harus menjadikannya sekutu dalam
“kerajaan ilahi” dan tanpa harus menjadikan kehendak Tuhan terkalahkan atau
terpasung oleh kehendak manusia. Demikian pula, syi’ah mengakui qadha dan
qadr ilahi tanpa harus mengubah manusia menjadi alat yang dioperasikan
menuju qadha dan qadr tersebut.
Dalam mazhab teologi syi’ah, persoalan yang berkaitan
dengan tauhid telah dipecahkan dalam bentuk yang benar-benar memanifestasikan
tauhid. Menyangkut persoalan tauhid dan
keberagaman sifat, syi’ah memilih tauhid dalam sifat-sifat ilahi. Sekali pun
sejalan dengan mu’tazilah dan menentang akidah asy’ari. Syi’ah berbeda dengan
mu’tazilah yang menafikan (eksistensi mandiri) sifat-sifat ilahi dan terpaksa
meyakini bahwa zat mewakili segenap sifatNya(inabah). Kaum syi’ah
berpendapat bahwa sifat-sifat Allah menyatu dan identik dengan zat-Nya.
Pandangan ini merupakan ma’rifat ilahi yang paling mendalam. Ihwal tauhid dalam
perbuatan-perbuatan Allah, syi’ah mendukung pendapat kaum asy’ari, tanpa
terpaksa menolak hukum kausa-efek sebagaimana yang telah dilakukan oleh
asy’ari. Mazhab teologi syi’ah menjelaskan persoalan tauhid zat,sifat,dan
perbuatan ilahi dalam konsep yang belum pernah ada tandingannya di alam ini. [6]
Sehubungan dengan ilmu ketuhanan dalam arti mkhusus, para
filsuf muslim telah berhasil membangun landasan-landasan kukuh yang di satu
segi karena adanya prinsip-prinsip pembuktian yang shahih, dan di segi yang
lain kerena adanya inspirasi dari
ajaran-ajaran islam. Para filsuf muslim telah memaknai keadilan sebagai hakikat
yang mengandung objektivitas, tanpa menjadikan zat ilahi terpasung oleh semacam
predestinasi dan tunduk pada hikum yang telah mendahului-Nya. Sehingga merusak
“kekuasaan” mutlak dan tetap zat pencipta jalla wa ‘ala. Adapun kebaikan
dan keburukan rasional telah dimaknai oleh para filsuf sebagai dua hal yang
keluar dari daerah pengetahuan-pengetahuan teoritis yang nilainya terbatas pada
tingkat penyingkapannya terhadap pemikiran-pemikiran pasti dalam tataran
praktis dan sosial. Karenanya, ia tidak beda dengan para teolog, para filsuf
selamanya tidak pernah menggunakan konsep (baik buruk rasional) dalam konteks
ilmu-ilmu ketuhanan.
Menyangkut persoalan maksud dan tujuan, para filsuf
membaginya menjadi tujuan perbuatan dan tujuan pelaku, sementara konsep hikmah
pada sang pencipta dipadankan dengan konsep inayah dan penyampaian sesuatu pada
tujuannya. Dengan begitum masalah taklif menjadi jelas maknanya. Para filsuf
mengatakan bahwa setiap perbuatan memiliki tujuan, dan tujuan dari segala
tujuan adalah zat Allah yang maha kudus. Segala sesuatu bersumber dari-Nya dan
kembali kepada-Nya. [7]
Seperti sudah kita ketahui, setiap bahasan ini memiliki
latarbelakang berbagai gagasan yang luas sekali. Tidak mungkin saya jelaskan
lebih dari yang telah saya paparkan disini.
Pembagian Syiah
a. Syi’ah itsna asyariah( syiah dua
belas/ syi’ah imamiah)
Dinamakan syi’ah imamiah, karena
menjadi dasar akidah nya adalah permasalahan imam dalam arti pemimpin religio
politi
. yakni Ali berhak menjadi khalifah bukan karena kecakapan nya atau keilmuan nya
akan teetapi ide tentang hak Ali dan keturunen nya untuk menduduki jabatan kahlifah telah ada sejak Nabi wafat, yaitu dalam pembincangan politik saqifah bani
sa’idah[8].

Doktrin-doktrin nya :
1. Tauhid (The
devne Unity)
Tuhan adalah essa baik esensi maupun eksistensi nya,
keesaan adalah mutlak, ia ber eksistensi dengan sendiri nya. Tuhan adalah qadim
2. Keadilan
(The devine justice)
Tuhan menciptakan kebaikan di alam semesta ini
merupakan ke adilan, ia tidak pernah menghiasi ciptaan Nya dengan
ketidakadilan.
3. Nubuwwah
(apossteship)
Setiap makluk meskipun telah di beri insting, masih
juga membutuh kan petunjuk, baik petunjuk dari tuhan maupun dari manusia. Rasul
merupakan petunjuk hakiki utusan tuhan.
4. Ma’ad (The
last day )
Ma’ad adalah Hari akhir, untuk menghadap pengailan di
akhirat. Setiap muslim harus yakin atas keberadaan hari kiamat, dan kehidupaqn
suci setelah d nyatakan bersih dan lurus dalam pengadilan tuhan.
5. Imammiah
(The devine Guidance)
Imammiah adalah institusi di nagurasikan tuhan untuk
memberikan petunjuk manusia yang di tunjuk dari keturunan Ibrahim dan di deligrasikan kepada keturunan Muhammad
sebagai nabi dan rasul terakhi
.

b. Syi’ah sab’ah (syiah tujuh)
Istilah syi’ah sb’ah (syi’ah tujuh)
di analogikan dengan syia’ah itsna asyarah. Istilah itu memberikan bahwa sekte
syi’ah sab’ah hanya mengakui tujuh imam[9].
Doktrin-doktrin nya
Islam di
bangun oleh tujuh pilar, tujuh pilar itu adalah imam, thaharah, shalat, zakat,
puasa, haji, dan jihad.
Syarat menjadi ima

1.
Imam harus bersal dariketurunan ali
2.
Imam harus harus berdasarkan petunjuk atau na

3.
Keimanan jatuhh pada anak tertua.
4.
Imam harus di jabat oleh seseorang
yang paling baik

c. Syi’ah zaidiah
Disebut zaidiyah karena sekte ini
mengikuti Zaid bin Ali sebagai imam ke lima, putra imam ke empat, ali zainal
abiding.
Doktrin-doktrin nya
a.
Imammah sebagai fundamental nya
dalam syi’ah
Syarat
menjadi imam
1.
Merupakan dari keturunan al-bait
2.
Memiliki kemampuan militer
3.
Memiliki kecendrungan intelektualisme yang dapat di buktikan dengan ide dan
karya dalam keagamaan.
d.
Syi’ah
Ghulat
`Istilah ghulat berasal dari nkata ghala-yahglu-ghuluw artinya
bertambah dan naik. Ghala bin addin artinya memperkuat dan menjadi ekstrim
sehingga melampui batas.
Alghulabi membagi 15 sekte-sekte aliran ini yang di
kenal antara lain ; Sabahiyah, kamaliah,albaiyah, Mughriyah, mansuriyah,
ku,miah,Yunusiyah, Nasyisiyahwaisyaqiyah.
Doktrin-doktrin
1.
Tamasyuk, yaitu Keluar nay roh dari satu jasad dan mengambil tempat pada
jasad yang lain
2.
Bada’, yaitu Keyakinan bahwa allah
mengubah kehendak nya sejalan dengan perubahan ilmu nya
3.
Raj’ah, yaitu Ajaran syiah semua nya mhdi al-Muntazar
4.
Tasbih, Yaitu menyerupakan salah seorang imam mereka dengan tuhan atau
menyerupai tuhan dengan makluk nya
Metode Fiqh Syi’ah
Sebagaimana halnya teologi dan filsafat syi’ah memiliki
metodologinya sendiri, demikian juga fiqh dan ijtihad dikalangan mereka juga
mengambil tren yang terpisah. Fiqh Syi’ah menegaskan
prinsip pengindukan hukum syariat kepada kemahlahatan dan kemafsadatan esensial(dzatiyyah). Ia juga
mengakui prinsip kesesuaian hukum akal dan syariat, dengan memelihara hak akal
untuk berijtihad. Ihwal qiyas dan ra’yu yang diserang oleh ahli hadits dan
dipandang sebagai salah satu kesalahan ahli qiyas dan ra’yu, mazhab
syi’ah juga menganggapnya sebagai kesalahan.[11]
Namun, kritik yang dilontarkan oleh syi’ah terhadap
qiyas tidak sama dengan kritik ahli hadis yang mengatakan bahwa akal bukanlah
hujah dan bukan pula dalil syar’I dalam
mengambil hukum. Ada dua alasan kritis yang diajukan oleh syi’ah terhadap ra’yu
dan qiyas. Pertama, ra’yu dan qiyas adalah penggunaan asumsi bukan penggunaan
pengetahuan ikut pada ajakan imajinasi, bukan taat pada
tuntutan akal .kedua merujuk pada ra’yu dan qiyas akan berimplikasi pada
anggapan bahwa prinsip-prinsip universal islam sebagai tidak memadai dan tidak
sempurna .padahal, anggapan itu merupakan kezaliman atas islam atau
memanifestasi kebodohan mengenainya. Benar bahwa hukum-hukum berkenaan dengan
kasus-kasus partikularl dan individual tidak dijelaskan .dan kalau ingin
dijelaskan tentu mustahil melakukannya lantaran kasus-kasus partikurar(juz’iyyat) itu tidak pernah
ada habisnya tapi prinsip-prinsip universal(kulliyyat) islam telah tersusun
sedemikian rupa sehingga kita dapat mengaplikasikannya pada segenap kasus yang
berbeda-beda dalam kondisi ruang dan waktunya.
Seorang faqih tidak harus terpaku pada teks dan
mencari hukum bagi setiap kasus partikular dari Alqur’an atau hadits. Manakala
tidak mendapatkan hukum menyangkut kasus tertentu dia juga tidak bisa lantas
menjadikannya sebagai dalih untuk
menempuh jalan imajinasi dan qiyas, melainkan yang harus dilakukannya ialah
melakukan tafri dan mengembalikan kasus furu’ kepada ushulnya. Semua
ushul islam terdapat dalam Alqur’an dan Sunnah, hanya saja kerja ini memerlukan
“kiat” atau “seni” tertentu. Kiat itu disebut dengan “ijtihad”, yaitu
apengaplikasian prinsip-prinsip universal islam secara sadar pada contoh
kasusnya yang berubah-ubah.
Dalam Al-Kahfi, terdapat sebuah bab berjudul
“Tidak ada satu persoalan pun kecuali ia memiliki ushulnya di dalam
Alqur’an dan Sunnah”. Karenanya fiqh islam syi’ah meyakini prinsip keadilan,
prinsip subordinasi hukum pada kemaslahatan dan kemafsadatan esensial,prinsip
kebaikan dan keburukan rasional, dan prinsip keotoritatifan akal (hujjiyyat
al-‘aql). Akhirnya prinsip keadilan menempati kedudukannya yang layak dalam
fiqih tersebut.
Fiqh Syi’ah membedakan akal dari imajinasi,
pembuktian demonstratif (burhan) dari qiyas yang asumtif, yang dalam
logika disebut dengan analogi. Fiqih Syi’ah memandang ada empat sumber fiqih :
Al-qur’an,Sunnah,Ijma’ dan akal. Mazhab ini tidak mengakui ra’yu dan qiyas
sebagai sumber hukum fiqih yang diakuinya adalah akal dan pembuktian
demonstrative yang dikenal dengan burhan[12].
Contoh furu’ mereka, ialah
membolehkan nikah mut’ah, bahkan mereka memandang nikah mut’at itu suatu
ibadat, mengharamkan perkawinan dengan wanita kitabiyah. Mereka mendahulukan
anak paman seayah agar sesuai dengan pendirian mereka yang mendahulukan Ali
atas Abbas. Dalam mazhab mereka tidak ada aul
(tambah bagian). Mereka mendahulukan kerabat dekat atas nasabah. Apabila
seorang meninggal dengan meninggalkan anak perempuan dan anak lelaki dari anak
lelaki (cucu), maka semua harta diberikan kepada anak perempuan karena dekatnya
kepada yang meninggal. Mereka memberikan kepada istri harta yang bergerak,
tidak harta yang tetap. Para nabi menuntut mereka dapat memberikan pusaka,
karena itu dapat mereka katakan bahwasanya khalifah dapat dipusakakan. Dan kaki
pada waktu berwudhu disapu saja, bukan di basuh. Dan perkataan hayya ‘ala khairil amal = marilah kepada sebaik-baik pekerjaan,
sesudah hayya ‘alal falah[13].
KESIMPULAN
Perpecahan yang di mulai pertama
dalam masyarakat muslim, secara implisit merupakan tentang suatu idiologi
terutama sekali pemberontakan melelui kematian usman dan sebagian berpaebdapat
mengenei pengkhianatan tahkim. Beberapa orang setelah itu, seperti Muawiyah
melawan Ali, Talhah bin zubair, yang melawan Ali adalah murni perbuatan
politik. Pemberontakan atas nama keadilan itu di pimpin oleh khawarij, kemudian
di mulai denagn Zaid , cicit nya. Ali
dan pengikut nya di kenel dengan Zaidiyah. Khawarij adalah masyarakat yang
sangat puritan. Idealis dan egaliter di
mana pergerakan wanita nya juga menempak
kan peranan yang penting. Pembarontak khawarij dan perang saudara ini
mengakibat kan reaksi keras pada umat islam secara umum, masyarakat membenarkan
menolak pemberontak dan pembunuhan
terhadap “dosa besar” tindakan itu sulit
untuk melawan pemerintahan mereka, reaksi yang sangat popular ini menimbulkan
dukungan sikap para pasif atau minimal Non-aktivis di masyarakat ini di kenal
irja’. Gagasan yang lebih baik dari pada mengambil pedang di tangan seseorang
dan membenarkan kesalahan orang. Seseorang harus menyerahkan masalah kepada
keputusan tuhan dan berharap maaf nya.
Daftar Pustaka
Muthahhar,Murttadha. (1992). Keadilan Ilahi. Bandung : Mizan Media Utama.
Hasbi,Teungku
Muhammad. (1999). Sejarah&Pengantar ILMU
TAUHID/KALAM. Semarang : Pustaka Rizki Putra.
Abbas, Siradjuddin. (2008). I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah. Jakarta:
Pustaka Tarbiyah Baru.
http://copast-master.blogspot.com/2012/10/makalah-aliran-siah_23.html
[1]Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah, (Jakarta:
Pustaka Tarbiyah Baru, 2008), hlm, 93.
[6]Persoalan ini talah dijelaskan secara terperinci
di buku Fi Rihab Nahj al-balaghah,bab tauhid.
[7]QS.AL-Najm [53] : 42
[11] Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi, (Bandung : Mizan Media
Utama,1992), hlm.36-37.
[12] Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi, (Bandung : Mizan Media
Utama,1992), hlm.37.
[13] Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah&Pengantar ILMU TAUHID/KALAM, (
Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm.152.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar