PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dengan latar belakang pendidikan,
pengalaman serta motivasinya yang kuat untuk memajukan dunia islam, Muhammad
Abduh tidak hanya memiliki pemikiran pendidikan yang bercorak modern, melainkan
juga memiliki pemikiran dalam banyak bidang seperti pemikiran mengenai kemajuan
dan kemunduran umat, politik, teologi
dan filsafat. Selain itu, corak pemikiran pendidikan Muhammad Abduh juga
berdasar pada pemikiran teologi rasional, filsafat dan sejarah. Dengan dasar
dan corak pemikirannya yang demikian itu, maka beliau dapat mengemukakan
gagasan dan pemikirannya dengan cara yang segar dan sesuai dengan perkembangan
zaman pada waktu itu. Untuk itulah dalam pembahasan selanjutnya akan kami bahas
mengenai pemikiran dari tokoh pembaharu ini khususnya dalam bidang kemajuan-kemunduran
umat, pemikirannya mengenai teologi, dan yang terakhir adalah mengenai
pembaharuanya dalam bidang pendidikan.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
riwayat hidup Muhammad Abduh ?
2. Bagaimakah
Pendapat Muhammad Abduh mengenai kemunduran umat islam pada saat itu, dan
bagaimana pula cara Abduh untuk memajukan umat dari kemunduran?
3. Apakah yang digagas Muhammad Abduh mengenai
teologi ?
4. Dan
Apa sajakah gagasan Muhammad Abduh untuk memajukan pendidikan ?
5.
PEMBAHASAN
A. Biografi Muhammad Abduh
Syekh Muhammad
Abduh nama lengkapnya adalah Muhammad Abduh Hasan Khairullah. Dilahirkan di desa Mahallat Nasr, Syibrakhit, Provinsi
Buhairah Mesir. Ayahnya bernama Abduh Hasan Khairullah, berasal dari Turki yang
telah lama tinggal di Mesir. Ibunya menurut riwayat berasal dari bangsa Arab
yang silsilahnya sampai ke suku bangsa Umar ibn al-Khattab. Abduh Hasan
Khairullah kawin dengan ibu Muhammad Abduh sewaktu merantau dari desa ke desa
itu dan ketika ia menetap di Mahallat Nasr, Muhammad Abduh masih dalam ayunan
dan gendongan ibu. Muhammad Abduh lahir dan menjadi dewasa dalam lingkungan
desa di bawah asuhan ibu bapa yang tak ada hubungannya dengan didikan sekolah,
tetapi mempunyai jiwa agama yang teguh. Ia dikirim oleh ayahnya ke Tanta untuk
belajar agama di masjid Syekh Ahmad pada tahun 1862.[1]
Setelah
menikah, ia dididik oleh Syekh Darwisy Khadr yang telah mengubah jalan hidup
Abduh yang tadinya enggan menuntut ilmu menjadi orang yang suka akan buku-buku
dan ilmu pengetahuan. Pada tahun 1866, ia meneruskan studinya ke al-Azhar. Di
tempat inilah ia bertemu dengan jamaluddin al-Afghani, tokoh Pan-Islamisme.
Kepadanyalah Abduh berguru. Ia mulai belajar filsafat kepada Afghani, demikian
juga politik.
Lulus
dari al-Azhar, ia kemudian menjadi pengajar di lembaga itu. Ilmu-ilmu yang
diajarkannya, menurut Ahmad Amin, adalah logika, teologi dan filsafat. Selain
di al-Azhar, ia juga mengajar di Darul Ulum, ia memegang mata pelajaran sejarah
dan buku yang dipakainya adalah Mukaddimah Ibn Khaldun. Di rumahnya, ia
mengajarkan etika dengan memakai buku Tahzibul Akhlaq karya filosof Ibn
Maskawih.
Dari
ilmu-ilmu yang diajarkannya, terlihat bahwa pengetahuannya tidak terbatas hanya
pada ilmu keagamaan, tetapi teologi, filsafat, logika, dan sejarah Eropa, yang
diperolehnya melalui bacaan-bacaan di luar universitas itu, terutama di bawah
bimbingan Jamalludin al-Afghani.
Di
masa itu ia telah menulis karangan-karangan untuk harian al-Ahram yang pada
waktu itu baru saja didirikan. Tulisannya mencakup bidang-bidang ilmu pengetahuan,
sastra Arab, politik, agama, dan sebagainya.
Atas
pengaruh Jamaluddin al-Afghani, Abduh juga terlibat dalam kegiatan politik.
Pada waktu pemerintah Inggris dan Prancis mulai turut campur dalam pemerintahan
Mesir, Afghani melakukan perlawanan. Ia bangkitkan semangat cinta tanah air
rakyat Mesir. Kemudian ia bentuk Partai Nasional Mesir.
Karena
tidak disukai penguasa Mesir, Afghani diusir dari Mesir pada tahun 1879. Abduh
dijatuhi tahanan kota di luar Kairo, tetapi berkat usaha Perdana Menteri Riad
Pasya, setahun kemudian ia kembali ke kairo dan tidak lama kemudian diangkat
menjadi pemimpin redaksi al-Waqa’i al-Mishriyah, semacam koran negara.
Pada tahun 1884,
ia bersama Afghani mendirikan majalah al-Urwatul Wutsqa walaupun umurnya tidak
lama. Di tahun 1899 ia diangkat menjadi mufti Mesir sampai wafatnya tahun 1905.
Kehausan
Abduh akan ilmu pengetahuan mendorongnya untuk selalu memperluas cakrawala
pengetahuannya. Pada usia 44 tahun, ia mempelajari bahasa Prancis untuk
mempelajari pengetahuan yang berkembang di Barat. Bahasa itu dapat ia kuasai
dengaan baik. Ia melihat bahwa untuk memperoleh ilmu pengetahuan Barat,
seseorang perlu mengetahui bahasa yang berpengaruh di Eropa. Bahkan ia
mengatakan bahwa orang yang tidak mengetahui salah satu bahasa Eropa di zaman
modern ini tidaklah bisa disebut ulama.
Setelah
mempelajari bahasa Prancis, ia banyak membaca buku-buku Prancis dalam filsafat,
sosiologi, pendidikan, ilmu jiwa, etika, matematika, ilmu alam, sejarah, dan
pemikiran-pemikiran para orientalis tentang islam.[2]
B.
Pemikiran-Pemikiran
Muhammad Abduh
Kemajuan dan Kemunduran
Umat
Menurut Abduh, sebab yang membawa
kemunduran adalah paham jumud yang terdapat di kalangan umat islam. Sikap ini
dibawa oleh orang-orang bukan Arab yang kemudian merampas kekuasaan politik
dunia islam. Dengan masuknya mereka ke dalam islam, adat istiadat dan animism
mereka turut pula mempengaruhi umat islam yang mereka perintah. Disamping itu
mereka bukan pula berasal dari bangsa yang mementingkan pemakaian akal seperti
yang dianjurkan dalam islam, melainkan berasal dari bangsa yang jahil dan tidak
kenal pada ilmu pengetahuan. Mereka memusuhi ilmu pengetahuan karena ilmu
pengetahuan akan membuka mata rakyat. Rakyat perlu ditinggalkan dalam kebodohan
agar mudah di perintah. Di dalam islam, mereka bawa ajaran-ajaran yang akan membuat
rakyat berada dalam keadaan statis, seperti pujaan yang berlebihan pada syeikh
dan wali, kepatuhan buta pada ulama, taklid pada ulama-ulama terdahulu dan
tawakal, serta penyerahan segala-galanya pada qada dan qadar. Dengan demikian,
mebekulah akal dan berhentilah pemikiran dalam islam.
Menurut
John L. Esposito, landasan utama pemikiran Abduh adalah keyakinan bahwa wahyu
dan akal pada dasarnya selaras. Karena akal itu satu dengan fitrah, yang
denganya Tuhan telah menjadikan sifat dasar manusia selaras dengan agama.
Kepercayaan pada kekuatan akal adalah dasar peradaban suatu bangsa. Akal yang
terlepas dari ikatan tradisi akan dapat memperoleh jalan yang membawa pada
kemajuan, dan pemikiran akan menimbulkan ilmu pengetahuan.
Ilmu
pengetahuan modern yang banyak berdasarkan hukum alam tidaklah bertentangan
dengan islam yang sebenarnya. Hukum alam adalah ciptaan Tuhan, dan wahyu juga
berasal dari Allah SWT. karena keduanya berasal dari Tuhan, ilmu pengetahuan
yang beradsar pada hukum alam dan islam yang berdasar pada wahyu, tak mungkin
bertentangan, dan islam mesti sesuai dengan ilmu pengetahuan modern, begitupun
sebaliknya[3].
Teologi Abduh
Dalam
bukunya Risalah al-Tauhid[4],
Abduh menyatakn bahwa manusia mewujudkan perbuatanya dengan kemauan dan
usahanya sendiri, dengan tidak melupakan diatasnya masih ada kekuatan yang
lebih tinggi. Analisis penulis Barat menyatakan bahwa kemunduran umat islam
akibat paham jabariyah (fatalism) dapat ia setujui, karena di kalangan awam
islam, paham yang demikian masih dianut. Paham qada dan qadar telah
diselewengkan menjadi fatalme, sedangkan paham itu sebenarnya mengandung paham
yang dinamis membawa umat pada kemajuan. Dengan demikian paham fatalisme yang
terdapat di kalangan umat perlu di hapuskan dengan paham kebebasan manusia
dalam kemauan dan perbuatan.
Pendapat
Abduh mengenai perbuatan manusia adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang
berpikir dan berikhtiar dalam amal perbuatanya menurut petunjuk pikiranya.
Dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki kehendak bebas karena ia memiliki
pikiran untuk menentukan pilihan dalam perbuatanya. Dan pilihan perbuatan yang
dilakukan manusia akan menimbulkan konsekuensi, yakni jika perbuatan itu baik
diberi pahala, dan jika perbuatan itu jahat pelakunya akan memperoleh siksa.
Karena manusia menurut hukum alam atau sunnah Allah mempunyai kebebasan dalam
kemauan dan daya untuk wujudkan kemauan itu, paham perbuatan yang dipaksakan
atas manusia atau jabariyah tidak sejalan dengan pandangan Abduh. Manusia
menurut Abduh adalah manusia, semata-mata karena ia mempunyai kebebasan dalam
memilih. Oleh karena itu, pemberian wujud bagi manusia tidak termasuk paksaan
berbuat.
Wahyu
dalam teologi Abduh mempunyai dua fungsi pokok. Fungsi pokok pertama timbul
dari keyakinan bahwa jiwa manusia akan terus ada dan kekal sesudah tubuh mati.
Keyakinan akan adanya hidup kedua setelah hidup pertama ini bukan hasil dari
pemikiran yang sesat dari akal dan bukan pula suatu khayalan, karena umat
manusia sepakat bahwa jiwa akan tetap hidup sesudah ia meninggalkan tubuh.
Fungsi kedua, wahyu mempunyai kaitan yang erat dengan sifat dasar manusia
sebagai makhluk social. Untuk menatur manusia dengan baik, dikirimlah nabi ke
permukaan bumi untuk mengatur hidupnya di dunia dan untuk dapat mengetahui
keadaan hidupnya di akhirat nanti.
Dengan demikian wahyu menolong akal untuk mengetahui alam akhirat dan
keadaan hidup manusia disana. Sekalipun semua itu sulit bagi akal untuk
memahaminya, tetapi akal dapat menerima adanya hal-hal itu.
Dalam
hal sifat Tuhan, Abduh berpendapat bahwa Tuhan tidak bersifat, sifat bagi Abduh
termasuk esensi Tuhan. Kalau Tuhan masih memerlukan sesuatu yang berada di luar
dzatnya, yakni sifat-sifat, berate sesuatu yang lebih tinggi dari pada dzat
Tuhan. Bagi paham Mu’tazilah, hanya manusia yang berhajat kepada sifat,
misalnya ilmu dan lain-lain, karena tidak sempurnanya manusia. Jika Tuhan juga
demikian keadaanya, menurut Mu’tazilah, berate Tuhan merupakan dzat yang tidak
sempurna karena Ia berhajat kepada ilmu sebagai sifat yang berada di luar
dzat-Nya[5].
Pemikiran
Pendidikan Muhammad Abduh
Pemikiranya dalam bidang pendidikan lebih banyak
difokuskan pada masalah menghilangkan dikotonomi pendidikan, menghilangkan
kelembagaan pendidikan, pengembangan kurikulum dan metode pengajaran. Adapun
gagasanya sebagai berikut[6].
1. Menghilangkan
Dikotonomi Pendidikan
Menurut Muhammad Abduh, bahwa
diantara factor yang membawa kemunduran dunia islam adalah karena adanya
pandangan dikotonomis yang dianut oleh umat islam, yakni dikotonomi atau
pertentangan antara ilmu agama dan ilmu umum. Berbagai lembaga pendidikan islam
di dunia pada umumnya hanya mementingkan ilmu agama, dan kurang mementingkan
ilmu umum. Menurut Muhamad Abduh, corak pendidikan yang demikian itu lebih
banyak berdampak negative dalam dunia pendidikan. System madrasah lama akan
menghasilkan ahli ilmu agama, sedangkan sekolah pemerintah mengeluarkan tenaga
ahli ilmu yang tidak mempunyai visi dan wawasan keagamaan. Keadaan ini mirip
dengan yang terjadi di Indonesia sebelum tahuan 70an. Yakni pada waktu itu
madrasah yang bernaung dibawah Departemen (sekarang kementrian) agama hanya
mengajarkan ilmu agama, sedangkan sekolah yang berada di bawah kementrian
Pendidikan Nasional kurang mementingkan agama.
Untuk mengatasi masalah dikotonomi
yang demikian itu, Muhammad Abduh mengusulkan agar dilakukan lintas disiplin
ilmu antar kurukulum madrasah dan sekolah, sehingga jurang pemisah antara kaum
ulama dan ilmuan modern akan hilang. Gagasanya ia terapkan di Universitas
Al-Azhar, yaitu dengan melakukan penataan kembali struktur pendidikan di
Al-Azhar, yang kemudian dilanjutkan pada lembaga pendidikan yang berada di
Thanta, Dassus, Dimyat, Iskandariyah, dan lainya. Dengan usahanya ini, berharap
berbagai lembaga pendidikan di Negara lainya dapat mengikutinya, karena
Universitas Al-Azhar pada waktu itu merupakan lembang dan panutan pendidikan di
Mesir khusunya, dan di dunia islam pada umumnya.
2. Pengembangan
Kelembagaan Pendidikan
Dalam upayanya mengembangkan
kelembagaan pendidikan, Muhammad Abduh mendirikan sekolah menengah pemerintah
untuk menghasilkan tenaga ahli dalam berbagai bidang yang dibutuhkan, yaitu
bidang administrasi, militer, kesehatan, perindustrian, dan sebagainya. Melalui
berbagai lembaga pendidikan ini, Muhammad Abduh berupaya memasukkan pelajaran
agama, sejarah dan kebudayaan islam.
Selain itu, madrasah-madrasah yang
berada di bawah naungan Al-Azhar, Muhammad Abduh menganjarkan ilmu Manthiq,
Falsafah dan Tauhid. Hal ini merupakan gagasan baru, karena sebelumnya Al-Azhar
memandang ilmu Manthiq dan Falsafah itu sebagai barang haram. Selain itu, di
rumahnya Muhammad Abduh juga mengajarkan kitab Tahzib al-Akhlaq karangan Ibn Maskawih, serta kitab Sejarah Peradaban Eropa yang telah di
terjemahkan kedalam bahasa Arab, karangan seorang Prancis dengan judul al-Tuhfat al-Adaabiyah fi Tarikh Tamaddun
al-Mamalik al-Awribiyah.
3. Pengembangan
Kurikulum
Muhammad Abduh melakukan
pengembangan kurikulum Sekolah Dasar, Sekolah Menengah dan Kejuruan, serta
Universitas di Al-Azhar. Pengembangan tersebut dapat dikemukakan secara singkat
sebagai berikut.
a. Pengembangan
Kurikulum Sekolah Dasar
Menurut Muhammad Abduh bahwa dasar
pembentukan jiwa agama hendaknya dilakukan sejak masa kanak-kanak. Oleh karena
itu, mata pelajaran agama agar dijadikan pelajaran wajib pada semua mata
pelajaran. Pandangan ini mengacu pada anggapan bahwa ajaran agama islam
merupakan dasar pembentukan jiwa dan pribadi muslim. Dengan memiliki jiwa dan
pribadi muslim, maka rakyat Mesir akan memiliki jiwa kebersamaan dan
nasionalisme yang selanjutnya dapat menjadi dasar bagi pengembangan sikap hidup
yang lebih baik , dan sekaligus dapat meraih kemajuan[7].
b. Pengembangan
Kurikulum Sekolah Menengah dan Sekolah Kejuruan
Pengembangan Kurikulum Sekolah
Menengah dan Sekolah Kejuruan dilakukan dengan memasukan mata pelajaran Manthiq
dan Falsafah yang sebelumnya tidak boleh di ajarkan. Selain itu, dimasukan pula
pelajaran tentang sejarah dan peradaban islam dengan tujuan agar umat islam
dapat mengetahui berbagai kemajuan dan keunggulan yang pernah di capai dunia
islam di masa silam, sebagai pemicu bagi lahirnya kebanggan terhadap islam
serta semangat untuk membangun kembali kejayaan umat islam.
c. Pengembangan
Kurikulum Universitas Al-Azhar
Pengembangan Kurikulum Universitas
Al-Azhar dilakukan dengan cara menyesuaikan kebutuhan masyarakat pada waktu itu
dengan para lulusan pendidikan, yakni orang-orang yang dapat berpikir kritis,
komperhesif, progrsif, dan seimbang tentang ajaran islam, yaitu para ulama yang
intelek atau dengan kata lain menjadi ulama yang modern. Berkaitan dengan ini,
maka Muhammad Abduh mengusulkan untuk dimasukanya mata kuliah filsafat, logika
dan ilmu pengetahuan modern kedalam kurikulum Universitas Al-Azhar.
4. Pengembangan
Metode Pengajaran
Menurut Muhammad Abduh bahwa metode
pengajaran yang selama ini hanya mengandalkan hafalan perlu di lengkapi dengan
metode rasional dan pemahaman (insight). Dengan demikian, di samping para siswa
menghafal suatu bahan pengajaran, juga dapat memahaminya dengan kritis,
objektif dan komperhesif. Berkenaan dengan ini, Muhammad Abduh mengusukan agar
menghidupkan kembali metode munadzarah (diskusi)
dalam memahami pengetahuan dan menjauhkan diri dari metode taklid buta terhadap
para ulama. Selain itu, juga mengembangkan kebebasan ilmiah di kalangan
Mahasiswa Al-Azhar. Ia juga menjadikan bahasa Arab yang selama ini hanya
menjadi ilmu yang tidak berkembang menjadi ilmu yang berkembang dan dapat
dipergunakan untuk menerjemahkan teks-teks pengetahuan modern ke dalam bahasa
Arab[8].
ANALISIS
Muhammad Abduh adalah seorang tokoh
pembaharu yang bercorak modernisme. Ia memperhatikan bagaiaman umat islam bias
mengalami kemunduran dan bagaimana cara untuk membangkitkan kembali pada
kejayaan umat islam saat itu. Menurutnya, alasan utama umat islam mengalami
kemunduran adalah karena kebekuan berpikir. adapun paham jumud dan kesalahan
keyakinan yang dibawakan oleh kaum fatalism yang menganggap bahwa hidup manusia
sudah ditentukan oleh qada dan qadar sehingga manusia tidak berkuasa untuk
merubah hidupnya adalah suatu pemahaman yang sangat bertolak belakang dengan
pemikiran Abduh. Baginya, manusia mempunyai kebebasan atas dirinya, ia berhak
menentukan perbuatan untuk dirinya sendiri. Dari sinilah peran akal digunakan
untuk membebaskan manusia khusunya umat islam dari taklid ulama dan kebekuan
berpikir, yaitu dengan memanfaatkan akal. Baginya akal merupakan kekuatan dasar
peradaban suatu bangsa. Akal yang terlepas dari ikatan tradisi akan dapat
memperoleh jalan yang membawa pada kemajuan, dan pemikiran akan menimbulkan
ilmu pengetahuan yang akan menyelamatkan umat dari belenggu kebodohan. Bicara
mengenai wahyu, bagi Abduh wahyu tidaklah bertentangan dengan akal. Karena
baginya hukum alam adalah ciptaan Tuhan, dan wahyu pun berasal dari Allah SWT,
jadi tidak mungkin Tuhan menciptakan sesuatu yang bertentangan dengan kodrat. Bila menyinggung
pemikiran-pemikiranya, Saya sangat sependapat dengan pemikiran Muhammad Abduh
mengenai hal-hal yang telah disinggung diatas. karena umat manusia tidak akan
mengalami kemajuan bila ia tidak memfungsikan akalnya. Saya mengapresiasi
pemikiran-pemikiran beliau, terlebih terhadap gagasanya untuk memajukan
pendidikan walaupun pandanganya pada saat itu bertolak belakang dengan kondisi
pendidikan pada saat itu, yang misalnya memasukan mata pelajaran filsafat yang
sebenarnya pada saat itu ilmu ini dilarang dipelajari, dan juga pemikiranya
tentang penghapusan dikotonomi pendidikan, dan sebagainya. Beliau (Muhammad
Abduh) adalah seorang pembaharu yang hebat dan berkat gagasannya, pendidikan
saat ini makin maju dan umat islam tidak lagi mengalami kebekuan berpikir
karena sudah banyak umat yang mengfungsikan akalnya.
Namun ada hal yang tidak saya
setujui dari pemikiran beliau. Yakni Dalam hal sifat Tuhan, Abduh berpendapat
bahwa Tuhan tidak bersifat, sifat bagi Abduh termasuk esensi Tuhan. Kalau Tuhan
masih memerlukan sesuatu yang berada di luar dzatnya, yakni sifat-sifat, berate
sesuatu yang lebih tinggi dari pada dzat Tuhan. Bagi saya Sifat berbeda dengan
esensi. Secara KBBI esensi berate hakikat, sedangkat sifat berate cirri khas
yang ada pada sesuatu. Jadi jika Abduh menganggap Tuhan tidak bersifat, bagi
saya Abduh telah menyalangi pemahaman umat islam, sebab Allah menamai dirinya
dengan Rahman-Rahim (Pengasih dan Penyayang) dan juga menamai diri-Nya dengan
99 sifat yang lainya. Bagi saya Tuhan itu bersifat, misalnya pengasih dan
penyayang, Berbeda dengan umatnya, dan sebagainya. Sifat tidaklah sama dengan
esensi. Sifat Tuhan adalah seperti apa yang kita ketahui di 99 Asmaul Husna
itu, sedangkan esensi dari Tuhan adalah suatu dzat yang Maha kuasa, maha
Dahsyat atas segala sesuatu. Dialah yang merajai langti dan bumi, tidak ada
satupun yang dapat menyamainya. Begitu esensi Tuhan menurut saya. Jadi pendapat
saya Tuhan itu beresensi dan juga bersifat.
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian pada pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa :
Pertama,
Muhammad Abduh dapat di kategorikan
sebagai ulama yang intelek atau ulama modern yang berupaya ingin memajukan
dengan mengembalikan kembali kejayaan umat islam agar siap menghadapi tantangan
zaman, dengan cara menijau kembali pemahaman ajaran islam agar sesuai dengan
perkembangan zaman.
Kedua,
disamping memiliki perhatian terhadap
masalah ummat dan teologi, Muhammad Abduh juga memiliki perhatian yang besar
dalam dunia pendidikan.
Ketiga,
menurut Muhammad Abduh alasan kemunduran umat adalah karena paham jumud dan
keyakinan yang salah mengenai qada dan qadar, dan untuk membebaskan umat islam
dari kemunduran inilah Abduh menggagaskan untuk memfungsikan akal dan wahyu
untuk membebaskan diri dari taklid yang berlebihan.
Keempat, pandangan Abduh mengenai
teologi bahwasanya manusia memiliki kehendak bebas untuk menentukan dirinya
dalam berbuat. Ia berhak atas dirinya sendiri, dia (manusia) akan memperoleh
pahala bila memilih menjadi baik, dan akan mendapat siksa bila ia memilih
perbuatan buruk. Baginya, wahyu dan akal tidaklah bertentangan, fungsi wahyu
disini adalah untuk menjelaskan hal-hal yang sulit di terima oleh akal.
Kelima,
gagasan dan pemikiran Muhammad Abduh
dalam bidang pendidikan antara lain berkenaan dengan mengintegrasikan ilmu
agama dan ilmu modern, pembaruan dan pengembangan kelembagaan pendidikan,
pengembangan kurikulum dan metode pengajaran
Daftar
Pustaka
Nata, Abbudin. 2012. Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat. Jakarta
: Raja Grafindo Persada.
Aziz, Ahmad Amir. 2009. PEMBARUAN TEOLOGI : Perspektif Modernisme
Muhammad Abduh dan Neo-Modernisme Fazlur Rahman. Yogyakarta : Teras.
Nasution, Harun. 1975. Pembaruan
Dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta : Bulan Bintang.
Saefuddin, Didin. 2003. Pemikiran
Modern dan Postmodern Islam : Biografi Intelektual 17 Tokoh. Jakarta : PT
Grasindo.
Sani, Muhammad. 1998. Lintas Sejarah Pemikiran Modern dalam Islam.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
[1] Harun Nasution, Pembaharuan dalam
Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, PT. Bulan
Bintang, Jakarta, 1975, hlm. 49-50.
[3] Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam :
Biografi Intelektual 17 Tokoh, (Jakarta: PT Grasindo, 2003), hlm.21-23.
[4] Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1989), hlm.41.
[5] Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam :
Biografi Intelektual 17 Tokoh, (Jakarta: PT Grasindo, 2003), hlm.24-28.
[6] Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat,
(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012), hlm.308-309.
[7] Abdul Sani, Lintas Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern
dalam Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1998), hlm.53.
[8] Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat,
(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012), hlm.311-312.
terimakasih nanda mega kharisma artikelnya sangat membantu
BalasHapus